SELAMAT DATANG DI SOLUSI CENTER

KAMI SIAP MEMBANTU ANDA

Minggu, 30 Oktober 2011

Prinsip Sistem Ekonomi Islam

Prinsip Sistem Ekonomi Islam


KEADILAN DAN MEMERANGI KEDZALIMAN DAN KEBATHILAN

Konsep Keadilan

Islam bertujuan untuk membentuk masyarakat dengan tatanan kehidupan yang solid. Islam menganggap semua anggota masyarakat memiliki hak yang yang sama di hadapan Allah. Hukum Allah tidak membedakan yang kaya dan yang miskin, tidak membedakan yang hitam dan yang putih. Keberadaan mereka dalam sebuah sistem yang Islami merupakan jaminan untuk mendapatkan hak-hak yang ditetapkan untuk mereka. Di hadapan Allah, hanya ketaqwaan untuk melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya yang akan membedakan derajat di sisi Allah. Allah akan memberikan penghargaan yang tinggi bagi mereka yang memiliki kegigihan, ketulusan hati, dan kemampuan tinggi, dan pengabdiannya yang luhur untuk Islam. Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak melihat pada wajah dan kekayaanmu, tapi pada hati dan perbuatan (yang ikhlas)." (H.R. lbnu Majah No. 4133, dalam kitab Zuhud)
Sifat-sifat tersebut merupakan cerminan dari ketaqwaan seseorang. Lebih tegas lagi Rasulullah menekankan akibat buruk dari diskriminasi hukum. Bila orang terpandang mencuri maka dibebaskan, tapi jika yang mencuri itu orang-orang biasa (lemah) maka hukuman akan diperberat. Sehubungan dengan ini, Rasulullah bersabda:
"Andaikan Fatimah, anak perempuan Muhammad mencuri, sungguh aku sendiri yang akan memotong tangannya." (H.R An Nasai nomor 4814 dalam kitab Qath'u As-Sariq)
Perlakuan adil akan membawa kesejahteraan, karena kesejahteraan sangat tergantung pada diberlakukannya hukum Allah dan dihilangkannya ketidakadilan. Dalam tatanan itu, setiap individu dalam masyarakat akan diikat oleh kesamaan perasaan, pemikiran, dan peraturan yang Islami. Sebuah ikatan ideologis yang meliputi seluruh belahan dunia dan tak terikat oleh batas geografis.
"Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. AI Hujurat:13)
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah kamu, karena adil itu lebih dekat dengan taqwa. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Q.S. Al Maidah: 8)

Keadilan Ekonomi dalam Masyarakat

Setiap individu mempunyai hak sekaligus kewajiban yang harus dipenuhi dalam sebuah masyarakat Islam. Seorang individu memiliki hak untuk dapat hidup secara layak. Hak ini wajib dipenuhi dan menjadi tanggung jawab seluruh anggota masyarakat baik individu itu sendiri, individu lain maupun negara. Tanpa hak tersebut, individu tidak dapat menikmati kesejahteraan dan menghindari terjadinya kekacauan dalam masyarakat. Ia akan mengalami penindasan tanpa ada yang peduli terhadap hal itu.
Islam mengakui dan menjamin terpenuhinya hak individu secara benar. Islam mengakui adanya hak individu untuk memiliki harta, mengkonsumsinya, membelanjakannya atau mengembangkannya. Individu juga memiliki hak-hak lain seputar ekonomi yang diatur oleh syari’at dan tidak dapat dicabut dengan kesewenang-wenangan. Meski, dalam pelaksanaannya harus tetap berpegang kepada aturan syariah agar tidak merugikan kepentingan individu lain dalam masyarakat.
Islam mengajarkan bahwa kebebasan yang dipropagandakan oleh kapitalisme sangat bertentangan dengan syara’ dan tidak mungkin dilakukan. Bagaimanapun, kebebasan individu akan senantiasa bersinggungan sehingga dengan sendirinya dibatasi oleh kebebasan individu lain. Oleh karenanya, jaminan pemenuhan hak-hak individu harus tetap dilakukan berpijak kepada ketetapan syara’. Tidak diperkenankan secara tegas mengambil hak-hak orang lain secara bathil. Dalam hal ini, negara yang akan menjamin dan mengatur setiap pemenuhan hak-hak individu. Negara dapat memaksa individu untuk mengembalikan hak orang lain yang telah diambilnya secara batil dan memberi hukuman sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Hasil korupsi harus dikembalikan kepada negara, hasil riba harus dikembalikan kepada penghutang, dan hasil penipuan harus diserahkan kembali kepada pihak tertipu dan sebagainya.
Konsep ekonomi dalam Islam ditegakkan dengan kepastian hukum atas seluruh pelanggaran dalam penerapannya. Setiap kebathilan dan kedzaliman yang terjadi harus diselesaikan dengan menerapkan hukum yang pasti. Karena ketiadaan kewibawaan proses hukum hanya akan mendorong terjadinya kedzaliman dan kebathilan yang lain. Dengan keadilan ekonomi, setiap individu akan mendapatkan haknya sesuai dengan kontribusi masing-masing kepada masyarakat. Setiap individu harus terbebaskan dari eksploitasi individu lainnya. Islam dengan tegas melarang seorang muslim merugikan orang lain dengan prinsip "Tidak memadharatkan dan tidak dimadharatkan"
"Dan janganlah kalian merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kalian merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan." (QS. Asy Syuara : 183).

Konsep ekonomi Islam mengharuskan setiap orang mendapatkan haknya dan tidak mengambil hak atau bagian orang lain. Rasulullah SAW mengingatkan:
"Wahai manusia, takutlah akan kezhaliman (ketidakadilan), sebab sesungguhnya dia akan menjadi kegelapan pada hari pembalasan nanti. " (H.R. Imam Ahmad, nomor 5404, dalam Musnad Al-Mukatstsirin min Shahabah).
Peringatan akan ketidakadilan dan eksploitasi ini dimaksudkan untuk melindungi hak-hak individu dalam masyarakat, juga untuk meningkatkan kesejahteraan umum sebagai tujuan utama Islam.

Keadilan antara Muslim dan non Muslim

Sistem pengaturan Islam untuk memenuhi kebutuhan ini diterapkan atas seluruh masyarakat, baik muslim maupun kafir dzimmi dimana mereka adalah orang-orang non muslim (kafir) yang memiliki identitas kewarganegaraan Islam dan tunduk kepada peraturan dan kekuasaan negara Islam, berdasarkan sabda Rasulullah SAW :
"Mereka mendapat hak apa yang menjadi hak kita, dan mereka mendapatkan (terkena) kewajiban sama halnya seperti kita mendapatkon (terkena) kewajiban."
"Sesungguhnya telah kami berikan apa yang telah kami tentukan, agar darah (derajat) kita setaraf dengan darah (derajat) mereka, serta harta kita setaraf dengan harta mereka".
Orang-orang kafir dzimmi telah merasakan bagaimana pengaturan dan jaminan Islam terhadap pemenuhan kebutuhan pokok di dibawah naungan Daulah Islamiyah. Diceritakan dalam "Kitab Al Kharaj" karangan Imam Abu Yusuf, bahwa Amirul Mu'miniin, Umar lbnu Al Khaththab, melihat seorang Yahudi tua di suatu pintu. Beliau bertanya apakah ada yang aku bantu? Orang Yahudi itu menjawab bahwa ia sedang dalam keadaan susah dan membutuhkan makanan, sementara ia harus membayar jizyah. "Usiaku sudah lanjut", katanya. "Kalau begitu keadaanmu, alangkah tidak adilnya perlakuan kami. Karena kami mengambil sesuatu darimu di saat mudamu dan kami biarkan kamu di saat tuamu". Setelah berkata demikian. Khalifah Umar lalu membebaskan pembayaran jizyah Yahudi tersebut, dan memerintahkan Baitui Maal menanggung beban nafkahnya beserta seluruh orang yang menjadi tanggungannya.
Di masa Khalid bin Walid, terhadap penduduk al Hairah, yang beragama Nasrani dan merupakan ahlu dzimmah, diterapkan suatu kebijaksanaan, bahwa jika ada orang tua yang lemah, tidak mampu bekerja, tertimpa kemalangan, atau ia jatuh miskin, hingga kaumnya memberikan sedekah padanya, maka ia dibebaskan  dari tanggungan jizyah dan ia menjadi tanggungan Baitul Maal kaum muslimin, selama ia tinggal di daarul hijrah atau daarul Islam.

PEMERATAAN KESEMPATAN

Islam mengakui adanya ketidaksamaan ekonomi di antara masing-masing individu dalam masyarakat. Namun, Islam tidak membiarkannya menjadi bertambah luas, ia mencoba menjadikan perbedaan tersebut dalam batas-batas yang wajar, adil dan tidak berlebihan. Pemerataan kesempatan berbeda dengan kesamaan ekonomi (sama rata sama rasa) sebagaimana yang dianut oleh sosialisme. Konsep Islam tetap memperkenankan perbedaan dalam perolehan kekayaan sepanjang tetap tidak menghalangi kesempatan orang lain secara bathil.
Dengan langkah-langkah yang nyata, konsep Islam akan menjaga agar kekayaan tidak hanya dinikmati oleh sekelompok tertentu masyarakat saja sedangkan individu lain terhalang kesempatannya untuk meraih kekayaan. Setiap individu dalam sebuah negara Islam harus mempunyai peluang yang sama untuk berusaha mendapatkan pekerjaan atau menjalankan berbagai aktivitas ekonomi. Dengan demikian kesenjangan tidak akan semakin lebar. Untuk menjamin tetap terciptanya berbagai kesempatan berusaha di tengah masyarakat, maka konsep Islam menerapkan berbagai mekanisme antara lain:
Pertama: Menghapuskan monopoli yang menghalangi kesempatan orang lain bekerja, kecuali oleh pemerintah untuk bidang-bidang tertentu.
Kedua: Islam membenarkan seseorang memiliki kekayaan lebih dan yang lain sepanjang kekayaan tersebut diperoleh secara benar.
Ketiga: Islam melarang riba (bunga) dan mendorong prinsip kerjasama (syirkah) dalam berusaha
Keempat: Islam melarang seseorang menimbun kekayaan (emas dan perak) sehingga mengurangi beredarnya kekayaan sebagai modal di tengah masyarakat
Kelima: Islam melarang memiliki tanah yang tidak diolah dan dimanfaatkan untuk pertanian lebih dari tiga tahun.
Keenam: Islam melarang dijalankannya usaha yang spekulatif seperti perjudian, bursa saham karena kontra produktif
Ketujuh: Negara menyediakan terpenuhinya lapangan pekerjaan di tengah-tengah masyarakat
Kedelapan: Kepemilikan umum adalah untuk semua masyarakat sehingga tidak diperkenankan melakukan privastisasi atas kepemilikan umum.

KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Islam memandang kebutuhan pokok manusia seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan mutlak dipenuhi. Islam telah mengatur jaminan atas pemenuhan semua kebutuhan tersebut, termasuk pula kebutuhan mendesak, seperti pernikahan, dan alat-alat transportasi yang berfungsi memenuhi kebutuhan di lokasi yang jauh. Dalam rangka pemenuhan ini, Islam telah menggariskan beberapa mekanisme yaitu:
(1)     Setiap Individu berkewajiban memenuhi kebutuhannya sendiri melalui mekanisme bekerja.
Secara individu Islam mewajibkan setiap individu untuk bekerja. Allah SWT berfirman :
"Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya” (QS Al Mulk : 15).
Rasulullah SAW telah bersabda :
"Tidaklah seorang di antara kamu, makan suatu makanan, lebih baik daripada memakan dari hasil keringatnya sendiri" (HR Baihaqi).
"Sesungguhnya ada sebagian dosa yang tidak bisa terhapus oleh Shaum atau Sholat” Ditanyakan pada beliau: 'Apakah yang dapat menghapuskannya, yaa Rasulullah?' Jawab Rasul SAW: 'Bekerja mencari nafkah penghidupan'" (HR Abu Nu'aim, dalam Al-Hilyah).
Bahkan Rasulullah SAW pernah "mencium" tangan Sa'ad bin Mu'adz ra, tatkala beliau melihat bekas-bekas kerja pada tangan Mu'adz. Beliau katakan: "(Ini adalah) dua tangan yang dicintai Allah Ta'ala"
Tujuan bekerja adalah untuk mencari karunia Allah SWT sehingga dapat menghasilkan harta untuk memenuhi kebtuhan pokoknya tersebut.
"  ........  Maka  bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah  dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung" (QS Al-Jumu’ah : 10).
"Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur" (QS Al-Jatsiyah 12).
Nash-nash tersebut menegaskan bahwa hukum asal pemenuhan kebutuhan pokok dan kesejahteraan hidup manusia menjadi tugas masing-masing individu melalui mekanisme bekerja.
(2)     Dalam kondisi individu sangup bekerja namun tidak memiliki kesempatan bekerja maka negara berkewajiban menyediakan lapangan pekerjaan.
Jika seseorang tidak mendapatkan pekerjaan, padahal ia mampu untuk itu, maka negara wajib menyediakannya. Sebab hal itu memang menjadi tanggungjawab negara. Rasulullah SAW bersabda:
"Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan ia akan diminta pertanggungjawban terhadap rakyatnya" (HR Bukhari dan Muslim).
Tersebut dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah SAW pernah memberi dua dirham kepada seorang, kemudian beliau berkata kepadanya:
"Makanlah dengan satu dirham dan sisanya belikanlah kapak, lalu gunakanlah ia untuk bekerja".
Juga, dalam hadits lain disebutkan, bahwa ada seseorang yang mencari Rasulullah, dengan harapan Rasulullah SAW akan memperhatikan masalah yang dihadapinya. la adalah seorang yang tidak mempunyai sarana untuk bekerja agar mendapatkan suatu hasil sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Kemudian, Rasulullah SAW memanggilnya. Beliau menggenggam sebuah kapak dan sepotong kayu, yang diambil sendiri oleh beliau. Kemudian, beliau serahkan kepada orang tersebut. Beliau perintahkan kepadanya agar ia pergi ke suatu tempat yang telah beliau tentukan, agar ia bekerja di sana, dan nanti kembali lagi memberi kabar tentang keadaannya. Setelah beberapa waktu, orang itu mendatangi Rasulullah SAW seraya mengucapkan rasa terima kasih kepada beliau atas bantuannya. Ia lalu menceritakan tentang kemudahan yang kini ia dapati. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari).
Hal yang sama dicontohkan pula oleh Umar ra. Suatu ketika, Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab, memasuki masjid di luar waktu shalat lima waktu. Didapatinya ada dua orang yang sedang berdo'a kepada Allah SWT. Umar ra. lalu bertanya: "Apa yang sedang kalian kerjakan, sedangkon orang-orang di sana kini sedang sibuk bekerja?" Mereka menjawab: "Ya Amirul Mu'minin, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bertawakal kepada Allah SWT".
(Mendengar jawaban tersebut), maka marahlah Umar Ra, seraya berkata: "Kalian adalah orang-orang yang malas bekerja, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak". Kemudian Umar ra, mengusir mereka dari masjid, tetapi memberi mereka setakar biji-bijian. Beliau katakan pada mereka : "Tanamlah dan bertawakallah kepada Allah".
Dari perisitiwa ini, Imam Al-Ghazali, rahimahullah, menyatakan bahwa wajib atas Waliyyul Amri (pemerintah) memberi sarana-sarana pekerjaan kepada para pencari kerja. Menciptakan lapangan kerja adalah kewajiban negara dan merupakan bagian dari tanggung jawabnya terhadap pemeliharaan dan pengaturan urusan rakyat. ltulah kewajiban yang telah ditetapkan secara Syar'iy, dan telah diterapkan oleh para pemimpin Daulah Islamiyah, terutama di masa-masa kejayaan dan kecemerlangan penerapan Islam dalam kehidupan.
(3)     Dalam kondisi individu tidak sanggup bekerja, kerabat dan muhrimnya berkewajiban memenuhi kebutuhan pokoknya.
Jika seorang individu tidak mampu bekerja, dan tidak mmpu mencukupi nafkah diri dan nafkah anggota keluarga yang menjadi tanggungjawabnya, maka kewajiban nafkah itu dibebankan kepada para kerabat dan muhrimnya, sebagaimana firman Allah SWT:
"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf. Seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian ..." (QS. Al-Baqarah : 233).
Ayat AI-Qur'an itu menjelaskan kewajiban ahli waris. Seorang anak, wajib memberikan nafkah kepada orang tuanya (yang tidak mampu) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Maksud "al waarits" pada ayat tersebut, bukanlah orang yang mendapat warisan semata, tetapi semua orang berhak mendapat warisan dalam semua keadaan. Rasulullah SAW telah bersabda:
"Kamu dan hartamu adalah untuk (keluarga dan) bapakmu" (HR Jbnu Majah).
Jika ada yang mengabaikan kewa)'iban nafkah kepada orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya, sedang ia berkemampuan untuk itu, maka negara berhak memaksanya untuk memberikan nafkah yang menjadi kewaiibannya. Hukum-hukum tentang nafkah ini telah banyak diulas panjang lebar dalam kitab-kitab Syariat Islam.
(4)     Dalam kondisi tidak ada kerabat dan muhrim yang mampu memenuhi kebutuhan pokok seorang individu, maka negara berkewajiban mencukupinya melalui kas zakat di baitul mal.
Jika seseorang tidak mampu memberi nafkah terhadap orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya, baik terhadap sanak kerabat atau muhrimnya, dan ia pun tak memiliki sanak kerabat atau muhrim, yang dapat menanggung kebutuhannya, maka kewajiban pemberian nafkah itu beralih ke negara yaitu baitul Maal.
Wajib atas baitul Maal untuk memenuhi seluruh kebutuhan pokoknya. Sebab, Baitul Maal berfungsi menjadi penanggung (menyantuni) orang-orang yang lemah dan butuh, sedangkan pemerintah adalah pemelihara dan pengatur usaha rakyatnya, dalam hal ini, kepala negara akan diminta pertanggung-jawaban terhadap tanggungannya. Infak baitul maal tersebut berasal dari harta zakat yang merupakan kewajiban Syar'iy, dan diambil oleh negara dari orang-orang kaya, sebagaimana firman Allah SWT:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka ...." (QS At-Taubah 103).
Juga Firman-Nya:
"Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para pekerja zakat, para muallaf yang diikat hatinya, ..." (QS At-Taubah 60).
Al 'Aamilun adalah pekerja-pekerja yang ditugaskan oleh negara untuk menarik zakat. Negara kemudian mendistribusikan kepada delapan golongan yang jelas-jelas tersebut dalam Al-Qur'an. Di antara mereka ada al fuqaraa dan al masaakiin, sebagaimana dalam ayat 60 surat At-Taubah tersebut. Mereka adalah orang-orang yang berada dalam kekurangan. Dalam hal ini, negara berkewajiban menutupi kekurangan itu dari harta benda baitui maal (di luar harta zakat) jika harta benda dari zakat tidak mencukupi. Rasulullah SAW bersabda :
"Tidak ada seorang Muslim pun, kecuali ia bertanggung jawab padanya di dunia dan akhirat" (At Hadits). Lalu Rasulullah SAW membacakan Firman Allah SWT : "Para nabi itu menjadi penanggung jawab atas diri orang-orang mukmin". “Oleh karena itu, jika seorang mu'min mati dan meninggalkan harta warisan, silahkan orang-orang yang berhak mendapat waris, mengambilnya. Tetapi jika ia mati dan meninggalkan hutang atau orang-orang yang akan terlantar, maka hendaklah rnereka datang kepadaku, sebab aku adalah penanggang jawabnya" (Diriwayatkan oleh pemilik Kitab Shahih yang Enam).
Juga dengan memperhatikan sabda Rasulullah SAW :
"Siapa yang (mati) meninggalkan harta, maka silakan ahli warisnya mewarisinya, tetapi siapa yang mati rneninggalkan orang-orang yang terlantar, maka kembalilah kepadaku dan aku adalah penanggung jawabnya".
Bukan lagi sesuatu yang mengherankan, bahkan selain bertindak sebagai utusan Allah, beliau SAW pun adalah seorang kepala negara dalam sistem kehidupannya, melaksanakan al uqubaat (sanksi-sanksi), menegakkan hukum, mengadakan perjanjian-perjanjian dengan negara-negara tetangga Daulah Islamiyah, menyatakan perang terhadap musuh-musuh Islam, dan menghadapi segala macam intrik yang dilancarkan setiap kepala negara musuh.
Tatkala beliau menyatakan: "Siapa saja yang mati meninggalkan hutang atau ahli waris yang lemah, maka datanglah mereka padaku sebab aku adalah penanggung jawabnya". Artinya, siapapun yang meninggalkan hutang, berarti ia termasuk kelompok gharimiin. Baitui Maal yang akan menanggung hutangnya. Atau jika dia meninggalkan ahli waris yang lemah, misalnya anak-anak yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya, maka datanglah kepada Rasulullah SAW, yang berkedudukan sebagai kepala negara dan pemelihara urusan umat, sebab negara bertindak sebagai pemelihara urusan mereka. Seolah-olah Rasul SAW berkata: "Maka wajib atasku dan aku adalah penanggungjawabnya (rakyat) dengan mengingat kedudukanku sebagai kepala negara agar aku memenuhi semua kebutuhan pokok, berupa pangan, sandang, dan papan telah dijamin oleh negara, jika ia tidak mampu memenuhinya sendiri".
(5)     Dalam kondisi kas zakat di baitul maal tidak mampu memenuhinya, maka negara akan memenuhinya dengan mengambil kas lain.
(6)     Dalam kondisi kas negara (baitul mal) habis maka semua kaum muslimin berkewajiban mencukupinya.
Jika baitul mal, yang merupakan kas perbendaharaan negara dalam keadaan krisis, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat, maka kewajiban itu beralih kepada seluruh kaum muslimin.
"Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian." (QS Adz-Dzariyaat : 19).
Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya pada harta benda itu ada hak (untuk diambil) di luar zakat." (HR Turmadzi).
Juga sabdanya:
"Sesungguhnya Allah telah menetapkan kewajiban terhadap orang-orang muslim yang berkecukupan atas harta mereka, tergantung banyaknya orang-orang fakir yang ada di sekitar mereka. Tidaklah orang-orang fakir itu akan terpayah-payah dan sengsara hidupnya, tatkala mereka lapar dan telanjang, kecuali karena ulah orang-orang kaya itu juga. Jika mereka (orang-orang kaya itu) tidak memperhatikan urusan mereka, maka Allah akan menghisab mereka dengan hisab yang berat, dan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih." (Al Hadits).
Sementara itu, negara berkewajiban mengumpulkan harta benda dari kaum muslimin, mengambil harta benda berlebih dari orang-orang kaya - sebagai kelebihan atas pemenuhan kebutuhan mereka, sebanyak keperluan orang-orang yang memerlukan pemenuhan kebutuhan dan mengatur urusan mereka. Sebab, memang negara memiliki wewenang, secara syar'iy, untuk melakukan itu. Allah SWT berfirman :
"Dan mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, yang lebih dari keperluan." (QS Al-Baqarah : 219).
"....  supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja di antara kamu ...." (QS Al-Hasyr : 7).
Artinya, tidak boleh harta benda hanya berputar di kalangan sekelompok orang, dengan menutup kesempatan orang lain untuk mendapatkannya. Rasulullah SAW telah mengambil sebagian harta inilik orang-orang kaya Bani Nadhir dan membagi-bagikannya kepada sahabat Muhajirin yang fakir, berdasarkan firman Allah : "bagi orang-orang fakir dari kaum muhajirin"
Beliau tidak membagikannya kepada kaum Anshar, padahal mereka adalah penduduk Madinah, kecuali terhadap dua orang Anshar, yaitu Abu Dujunah (Samak bin Khasyah) dan Sahal bin Hanif. Padahal, sebenarnya kaum Anshar adalah orang-orang yang juga berhak mendapat bagian. Semua itu dilaksanakan oleh Rasulullah SAW sebagai realisasi pengamalan perintah Allah dalam dua ayat terdahulu (ayat 219 surat Al-Baqarah dan ayat 7 surat Al-Hasyr).
Sayidina Umar ra. pernah berkata :
"Seandainya dari dulu saya punya pendapat seperti pendapat saya sekarang, pasti telah aku ambil kelebihan harta benda orang-orang kaya dan aku bagikan (kembalikan) kepada orang-orang fakir."
Pengambilan kelebihan harta orang-orang kaya dari kaum muslimin untuk menutupi kebutuhan orang-orang miskin tersebut, semata-mata dilakukan negara jika baitui maal tengah dilanda krisis. Tetapi, jika krisis itu telah hilang, dan baitui maal dalam keadaan berkecukupan, maka pengambilan itu harus dihentikan. ltulah hukum-hukum Syari'at Islam, yang memberikan alternatif cara pemenuhan kebutuhan hidup dan mewujudkan kesejahteraan bagi tiap individu masyarakat, dengan cara yang agung dan mulia. Hal itu akan mencegah individu-individu masyarakat yang sedang dililit kebutuhan untuk berusaha memenuhi kebutuhan mereka dengan menghinakan diri (meminta-minta).

Adapun kebutuhan pokok yang harus dipenuhi tersebut adalah:
(1)     Pangan dan Sandang
Pangan dan sandang adalah kebutuhan pokok manusia yang harus terpenuhi. Tidak seorangpun yang dapat melepaskan diri dari dua kebutuhan itu. Oleh karena itu, Islam menjadikan dua hal itu sebagai nafkah pokok yang harus diberikan kepada orang-orang yang men)adi tanggungJawabnya. Allah SWT berfirman :
"Dan kewajibon ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara baik..." (QS Al-Baqarah 233).
(2)     Papan
Demikian halnya dengan papan atau perumahan. la termasuk ke dalam kategori kebutuhan pokok, sebagaimana pangan dan sandang, yang wajib dipenuhi oleh negara. Allah SWT berfirman:
"Tempatkanlah mereka (para isteri) di tempot kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu..." (QS At-Thalaq 6).
(3)     Kesehatan dan Pendidikan
Kesehatan dan pendidikan, adalah dua hal yang merupakan kebutuhan asasi dan harus dikecap oleh manusia dalam hidupnya. Keduanya termasuk masalah''pelayanan umum" (ri'ayatu asy syu-uun) dan kemaslahatan hidup terpenting. Dalam hal ini, negara (pemerintah) lah yang berkewajiban mewujudkan pemenuhannya terhadap seluruh rakyat. Islam telah menentukan bahwa yang bertanggung jawab menjamin dua jenis kebutuhan dasar tersebut adalah negara. Negaralah yang harus mewujudkannya, agar dapat dinikmati seluruh rakyat, baik muslim maupun non muslim. Baik kaya atau miskin. Sedangkan seluruh biaya yang diperlukan, ditanggung oleh Baitui Maal.
Muqauqis, Raja Mesir, pernah memugaskan (menghadiahkan) seorang dokter (ahli pengobatan) nya untuk Rasulullah SAW. Oleh Rasulullah SAW, dokter tersebut dijadikan sebagai dokter kaum muslimin dan untuk seluruh rakyat, dengan tugas mengobati setiap anggota masyarakat yang sakit.
Tindakan Rasulullah SAW itu, dengan menjadikan dokter tersebut sebagai dokter kaum muslimin, menunjukkan bahwa hadiah tersebut bukanlah untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, hadiah semacam itu bukanlah khusus diperuntukkan bagi beliau, tetapi untuk kaum Muslimin, atau untuk negara.
Demikian pula terhadap pendidikan. Negara akan menyediakan berbagai sarana pendidikan termasuk pengajar yang dibutuhkan. Rasulullah pernah memberikan syarat tebusan bagi tawanan perang untuk memberikan pengajaran kepada kaum muslimin yang buta huruf. Padahal, pada umumnya tebusan adalah berupa harta yang akan dimasukkan ke dalam kas baitul mal. Dalam kasus yang lain, Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga pernah memberikan gaji guru taman kanak-kanak sebesar 15 dinar perbulan. Gaji itu pun diambilnya dari kas baitul mal. Hal ini semua menjadi dalil bahwa negara berkewajiban menyediakan pendidikan dengan biaya berasal dari batul mal.

(4)     Pernikahan dan alat-alat transportasi sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan yang jauh.
Sangatlah wajar jika Khalifah, atau orang-orang yang menduduki kekuasaan, seperti para wali, tidak memungut biaya sedikitpun dalam melaksanakan hukum-hukum Islam. Sebab, menjalankan hukum-hukum Islam adalah tindakan ibadah. Tidak layak hal itu dipungut biaya. Justru biaya itu harus diambil dari baitul maal, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Abu Bakar, Umar radliallahu 'alaihimaa, dan khalifah-khalifah sesudahnya. Rasulullah SAW telah menentukan kebutuhan-kebutuhan itu dengan sabda beliau:
"Siapa saja yang mau bekerja untuk kami, maka ia berhak mendapatkan istri, dan siapa saja yang tidak memiliki tempat tinggal, maka ia berhak mendapat tempat tinggal (rumah)".
Juga sabda beliau yang lainnya :
"Siapa saja yang mengerjakan sesuatu untuk kami dan ia tidak memiliki tempat tinggal, maka ia berhak mendapat tempat tinggal; atau ia tidak punya istri, hendaklah ia menikah, atau ia tidak memiliki kendaraan, maka ia berhak mendapat kendaraan."
Demikianlah, negara harus berbuat sebesar-besarnya, sebatas kemampuannya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Islam, yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan memungkinkan dinikmati oleh setiap individu yang tidak mampu meraih kemaslahatan itu. Tindakan Kepala Negara (Khalifah) yang demikian, tidak lain adalah sebagai tindak kepatuhan terhadap firman Allah SWT:
"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak cucu Adam, dan Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri rezeki mereka dari hal yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakon" (QS Al-Isra': 70).
Juga firmanNya:
"Dan di antara tanda-tanda kekuasanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya ..." (QS Ar-Ruum : 21).
Anak cucu Adam itu tidak mungkin terjaga atau terpelihara kemuliaannya kecuali dengan melekatnya pakaian di badan, menetapnya ia di suatu tempat tinggal, dapatnya mengecap makanan yang cukup, terpenuhinya sarana transportasi untuk melakukan perjalanan, dan tersalurnya naluri kecenderungan biologis (gharizah jinsiyah)nya, dengan melaksanakan pernikahan. Sistem aturan Islam telah menunjukkan keunggulannya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu yang berada dalam keadaan membutuhkan. Rasulullah SAW telah memerintahkan kaum Anshar agar memberikan pertolongan kepada sahabat-sahabat muhajirm yang fakir, tatkala mereka menjalani kehidupan bersama dan berserikat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup. Jadilah mereka bersaudara karena Allah SWT, hingga mereka berhak mendapatkan anugerah rahmat Allah SWT dan keridhaanNya. Karena itu Rasulullah SAW pernah mengawinkan seorang lelaki dan memberinya segenggam kurma sebagai mahar untuk diberikan kepada istri-istrinya. Dalam hal ini, Baitui Maal-lah yang berkewajiban menanggung semua itu, sekuat kemampuan yang ada padanya, berdasarkan makna umum sabda Rasulullah SAW:
"Setiap imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatriya, maka ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap tanggungannya itu".
Rasulullah SAW pernah menunaikan kewajiban (rutin) yaitu menyantuni para janda dan orang-orang yang berkeinginan untuk menikah, dengan satu bagian untuk seorang janda, dua bagian untuk yang mau menikah, demi menutupi kebutuhan-kebutuhan mereka. Dalam periode Khalifah Umar bin Khathab ra. beliau menerapkan jatah pembagian terhadap tiap-tiap anak sejak anak manusia lahir ke bumi.
Dalam buku "Nahjul Balaghah" diceritakan bahwa Aqiil datang kepada Amirul Mukminiin, Ali bin Abi Thalib, dengan mengadukan perihal dirinya yang kekurangan kebutuhan-kebutuhannya. Mendengar hal tersebut, Amirul Mukminiin lalu memberinya bekal sebagai penutup kebutuhan Aqiil. Tatkala Aqiil pulang ke rumahnya, ia berjumpa dengan seseorang yang menanyakan tentang apa yang ia bawa. Uqail menjawab bahwa bawaannya itu adalah pemberian Amirul mukminiin. Orang itu kemudian berkata :
"Jika kamu kembali, wabai Aqiil, kepada beliau, yang merupakan saudaramu, pasti beliau akan menambah pemberiannya lebih banyak dari apa yang telah diberikan. Agaknya itu lebih baik bagimu".
Aqiil patuh dan benar-benar kembali kepada Amirul mukminiin. Saat itu Khalifah Ali ra. sedang duduk di depan perapian yang di dalamnya ada sepotong besi yang dilemparkan anak kecil sebagai mainan. Berulang-ulang Aqiil mengajukan permintaan tambahan, sampailah ia pada batas kesabarannya. Kemudian Khalifah Ali ra. mengangkat besi itu dan menyorongkannya kepada Aqiil yang berteriak karena kaget. Lalu dengan marah Amirul Mukminiin berkata:
"Wahai Aqiil, apabila engkau menjerit kesakitan karena benda yang dilemparkan seorang onak sebagai mainannya, maka permintaanmu itu akan menyeret aku ke dalam api neraka yang telah dinyalakan oleh Yang Maha Perkasa, karena kemurkaanNya. Jika kamu menjerit kesakitan hanya karena api semacam ini, bagaimana aku tidak akan menjerit kesakitan oleh api yang terpanas (jahanam)?"
Seorang kepala negara bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan rakyatnya, baik atas anggota keluarganya atau anggota masyarakat yang lain. la harus selalu ingat dan memperhatikan sabda Rasulullah SAW:
"Sungguh, Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban setiap pemimpin terhadap apa yang dipimpinnya, apakah ia menjaga atau bahkan menyia-nyiakannya".
Sebagai jaminan akan adanya peraturan urusan pemenuhan kebutuhan tersebut, dan merupakan realisasi tuntutan Syari'at Islam, maka dalam tindakan yang konkrit, Umar bin Kathab telah membangun suatu rumah yang diberi nama "daar ad daqiiq” (rumah tepung). Di sana tesedia berbagai jenis tepung, kUrma, dan barang-barang kebutuhan lainnya, yang tujuannya untuk menolong orang-orang yang singgah dalam perjalanan dan memenuhi kebutuhan orang-orang yang membutuhkan, sampai ia terlepas dari kebutuhan itu. Rumah itu dibangun di jalan antara Makkah dan Syam, di tempat yang strategis dan mudah dicari (dicapai) oleh para penyinggah jalan (musafir). Rumah yang sama, juga dibangun di jalan antara Syam dan Hijaz.

PERTUMBUHAN RIIL

Sistem ekonomi Islam mendorong kaum muslimin untuk berusaha secara profesional. Tujuannya adalah untuk memberikan kesejahteraan bagi masing-masing individu. Secara komunal, sistem ekonomi Islam bertujuan untuk menumbuhkan taraf perekonomian secara riil. Beberapa mekanisme yang diberikan oleh Islam antara lain:
(1) Larangan menimbun kekayaan
Sistem ekonomi Islam melarang individu mengumpulkan dan menimbun harta kekayaan di luar kebutuhan hidupnya. Islam dalam satu segi memperbolehkan setiap individu untuk memiliki harta dengan batas yang tidak ditentukan dan juga memperbolehkan individu untuk memiliki simpanan (tabungan) untuk berjaga-jaga atau memenuhi kebutuhan masa datang.
Namun, di lain segi Islam melarang individu menimbun harta benda (terutama emas dan perak) tanpa satu keperluan pun. Penimbunan harta menyebabkan pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat serta akan menghalangi individu lain untuk memanfaatkan harta tersebut.
Oleh karena itu, Islam mendorong individu yang memiliki kekayaan yang melebihi kebutuhan hidupnya untuk tetap mengembangkan kekayaannya tersebut. Apabila secara individu ia tidak mampu melakukannya, ia dapat bekerjasama dengan pihak lain. Selain harta tersebut dapat dikembangkan, juga akan memberikan lapangan pekerjaan bagi pihak lain yang tidak memiliki modal atau kesempatan. Dalam hal ini, pihak lain dapat berlaku sebagai ajiir (pekerja) ataupun sebagai mudlarib dalam syirkah mudlarabah.
(2) Larangan menelantarkan tanah pertanian lebih dari tiga tahun.
Islam menetapkan bahwa pemilikan tanah pertanian haruslah untuk dimanfaatkan. Membiarkannnya terlantar akan menyebabkan produktivitas pertanian menjadi turun. Oleh karena itu, dengan tegas Islam menetapkan bahwa kepemilikan tanah akan menjadi hilang manakala tanah pertanian tersebut ditinggalkan atau dibiarkan terlantar lebih dari masa tiga tahun. Negara wajib mengambil hak kepemilikan atas tanah tersebut dan dapat memberikannya kepada pihak lain yang mampu mengelolanya. Kesemuanya ini ditujukan untuk menghindari keberadaan tanah yang tidak produktif.
(3) Larangan menggunakan harta untuk sektor non riil.
Dalam sistem ekonomi kapitalis, perputaran uang dan harta lainnya dibebaskan bagi setiap individu masyarakat. Akibatnya, aktivitas-aktivitas non riil (seperti bursa valuta asing dan bursa saham) yang berkembang dengan pesat. Mereka memandang bahwa aktivitas ini sangatlah menguntungkan tanpa mempertimbangkan efek buruk pada pertumbuhan ekonomi.
Dalam hal ini Islam hanya mendorong individu dalam masyarakat untuk berusaha dalam sektor riil yang dihalalkan oleh Allah SWT dan meninggalkan sektor non riil yang diharmkan oleh Allah SWT.
MASHLAHAT
Keterikatan terhadap hukum syara akan mendatangkan rahmat (kebaikan). Kedamaian, ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan dunia akhirat pasti akan didapatkan. Inilah mashlahat hakiki yang dijanjikan Allah.
Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya  (QS. Al A’raf : 96).
Sebaliknya, sikap menentang hukum syara hanya akan mendatangkan laknat berupa kekacauan, kerusakan, kegelisahan, dan kerugian dunia, seperti yang terlihat sekarang. Belum lagi  laknat di akhirat yang pasti akan dialami.
Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.  Berkatalah ia: Ya, Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat ?  Allah pun berfirman : Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu pula pada hari ini kamu pun dilupakan.  Dan demikianlah Kami membalas orang yang melampauai batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Rabbnya.  Dan sesungguhnya adzab di akhirat lebih berat dan lebih kekal.”
Betapa keras dan tegas konsekuensi yang akan diperoleh mereka yang menentang hukum Allah seperti tercantum di dalam surat Thaha [20] ayat 124 sampai 127 tersebut.
            Sekiranya dengan penerapan aturan selain Islam didapatkan juga keuntungan, tapi keuntungan atau kebaikan itu sesungguhnya hanyalah merupakan kemashlahatan I’tibari (semu). Karena, di balik bermacam keuntungan yang didapatnya itu tersimpan sejumlah kerugian dan potensi kerusakan yang jauh lebih besar yang pada akhirnya akan menyengsarakan kehidupan masyarakat. Kenyataan masyarakat sekarang membuktikan hal itu. Di balik keuntungan cukai dan terserapnya tenaga kerja dari industri minuman keras, tersembul sejumlah bahaya. Kerusakan fisik, meningkatnya kriminalitas adalah beberapa diantaranya. Demikian juga dibalik berkembangnya industri hiburan yang banyak mengeksploitasi kecantikan dan keindahan tubuh wanita serta seks bebas, penyakit AIDS mengancam. Demikian seterusnya, bahwa pengingkaran terhadap aturan Islam pasti akan menimbulkan kerusakan (fasad), sementara ketaatan akan mendatangkan rahmat.

Klik aku di sini: