SELAMAT DATANG DI SOLUSI CENTER

KAMI SIAP MEMBANTU ANDA

Selasa, 13 Maret 2012

PENDIDIKAN "PERLU" GRATIS

PENDIDIKAN “PERLU” GRATIS

Pendidikan dasar merupakan sarana untuk membangun landasan intelektual anak bangsa. Dengan didukung oleh UUD 1945 pasal 32 ayat 2 menyebutkan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Aturan tersebut memberikan gambaran bahwa penyelengaraan pendidikan dasar merupakan kewajiban pemerintah sekaligus hak masyarakat. Pendidikan dasar gratis secara teoritis bisa dilaksanakan, terlebih hal tersebut sudah menjadi amanat konstitusi yang harus diwujudkan. Kemampuan daerah dalam menyelenggarakan pendidikan dasar gratis tidak sama. Sumber biaya pendidikan yang terbesar bukan lagi dari APBN, melainkan dari APBD kabupaten/kota. Sudah seharusnya pemerintah daerah menyediakan anggaran yang cukup memadai untuk mendukung terwujudnya pendidikan dasar gratis. Beberapa kabupaten/kota di Indonesia berhasil mewujudkan pendidikan dasar gratis tanpa menunggu turunnya dana dari pusat. Peluang setiap daerah untuk dapat melaksanakan pendidikan dasar secara gratis sejatinya sama. Akan tetapi jelas bahwa mewujudkan pendidikan gratis tidaklah semudah yang dibayangkan. Ketipdak supksesan penyelenggaraan pendidikan dasar hanya akan memperparah pondasi intelektual bangsa, dan pada gilirannya akan menurunkan daya saing bangsa di tingkat global. Dengan mempertimbangkan implikasinya pada kualitas sumber daya manusia di masa datang, tidak ada alasan bagi kita intuk menunda-nunda pelaksanaan pendidikan dasar gratis.
Rencana pemerintah untuk menggratiskan biaya sekolah, patut disambut dengan gembira. Dan, mungkin inilah yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat pada umumnya di seluruh penjuru nusantara. Lagipula, planning untuk mengalokasikan subsidi BBM ke sektor pendidikan itu, tampaknya telah sepakati oleh beberapa fraksi di dewan perwakilan rakyat. Kabar tersebut seperti diberikatakan oleh bebarapa media elektronik dan cetak nasional beberapa waktu yang lalu.
Namun pertanyaan yang mengganjal di hati saya adalah, mampukah mutu pendidikan menjadi lebih meningkat hanya dengan membebaskan biaya pendidikan formal? Secara sederhana dapat dikatakan bahwa setidaknya upaya itu ditempuh untuk mencegah bertambahnya para anak muda yang drop out, putus sekolah dan tidak dapat melanjutkan sekolah yang lebih tinggi lagi.
Akan tetapi, di sisi lain, anak usia sekolah yang mogok belajar bisa jadi disebabkan karena kurang perhatian dan dukungan dari orang tua dan masyarakat sekitar. Sehingga anak tidak mempunyai motivasi dan cita-cita yang mantap. Juga masih maraknya anggapan kuno dari masyarakat yang menyatakan bahwa buat apa bersekolah tinggi-tinggi, kalau pada akhirnya pekerjaan yang cocok sulit diperoleh alias menjadi penggangguran setelah lulus sekolah.
Selain itu, pemerintah kurang peka terhadap perkembangan di sekolah-sekolah. Karena jarangnya pemerintah --khususnya yang bergelut di bidang pendidikan-meluangkan waktunya untuk meninjau lokasi sekolah, maka pihaknya tidak tahu secara persis situasi dan kondisi lingkungan sekolah. Padahal ada hal-hal yang perlu diperbaharui di sana, misalnya saja, ada beberapa bangunan fisik sekolah yang sangat memprihatinkan, bahkan tak pantas disebut sebuah sekolah ini. Ditambah pula dengan minimnya tenaga pendidik, terutama di daerah pelosok yang sulit dijangkau plus alat-alat sekolah yang kurang memadai.
Perlu diketahui bahwa yang namanya pendidikan itu merupakan suatu usaha dilakukan oleh seseorang untuk dapat menggali potensi diri yang dimilikinya yang berupa intelektual, skill dan mengembangkan kepribadiannya. Dari itu, sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan diharapkan dapat membantu (bukan menciptakan) terwujudnya kompetensi-kompetensi yang ada pada diri siswa. Hal ini seperti yang dinyatakan Drost bahwa sekolah itu bertugas sebagai pembantu orang tua dalam hal pengajaran (bukan pendidikan). Maka, di sinilah peran guru sangat mutlak diperlukan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang sebenarnya.
Oleh karenanya, guru yang baik, tidak hanya menjadi pengajar yang handal saja. Lebih dari itu, ia juga mampu menjadi pendidik, pembina dan pelatih yang baik pula. Dengan begitu, interaksi yang harmonis antara guru dan siswa akan berjalan dengan semestinya. Jika sudah demikian, maka proses pengalihan ilmu pengetahuan dari guru kepada para siswanya dapat dilakukan tanpa menemui banyak kesulitan. Akan tetapi, untuk mewujudkan hal demikian itu, diperlukan bantuan orang tua siswa, masyarakat dan pemerintah yang kelak akan menciptakan sebuah sekolah unggul.
Untuk dikatakan sekolah unggul, Syaiful Sagala (2004) menyatakan bahwa sekolah harus mampu mengidentifikasikan keinginan dan membuat daftar kebutuhan melalui proses analisis kebutuhan, seperti para siswa menginginkan agar kegiatan belajar dapat memberikan ilmu pengetahuan dan ketrampilan secara mudah dan suasana belajar yang menyenangkan, guru menginginkan tersedianya fasilitas dan sarana belajar yang cukup, orang tua siswa menginginkan hasil belajar anaknya sesuai dengan biaya yang dikeluarkan orang tua dan pemerintah, dan masyarakat menginginkan agar hasil belajar mempunyai kemampuan dan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
Sekali lagi, agar proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan tertib, maka salah satu hal yang tidak boleh dilupakan ialah menyangkut biaya pendidikan untuk melengkapi piranti pendukung belajar di sekolah yang digunakan oleh guru dan siswa. Sebab, belajar tanpa disertai dengan media pendidikan dan pengajaran akan menjadi faktor penghambat dalam proses belajar-mengajar. Juga semangat belajar pun akan semakin turun sedikit demi sedikit.
Nah, untuk itulah, pemerintah sewajarnya bisa membantu dalam hal tersebut semaksimal mungkin. Karena itu, agar upaya pemerintah untuk membantu pendidikan gratis, (atau lebih tepatnya meringankan biaya pendidikan) ini tidak mubazir, sepatutnya perlu dipandang beberapa hal: yakni, pertama, disadari atau tidak, yang namanya pendidikan itu memang mahal, jika melihat konteks bahwa pendidikan (baca: mencari ilmu pengetahuan) itu wajib bagi setiap orang semasa hidupnya, tidak hanya dibatasi sembilan tahun saja. Karena itu, pihak terkait berusaha untuk menyalurkan dana pendidikan sedemekian rupa agar dengan tepat sasaran.
Kedua, subsidi pendidikan dialokasikan sebaiknya tidak hanya diperuntukkan terbatas pada siswa sekolah saja, melainkan juga untuk kesejahteraan guru (atau bahkan orang tua/wali siswa?). Jangan lupa, seorang guru pun bisa saja tidak mampu mencukupi kebutuhan pimer sehari-harinya. Ini juga untuk menghindari adanya 'kecemburuan sosial' terhadap anak didiknya. Jika persoalan ekomomis guru terbantukan, -untuk tidak dikatakan terpenuhi-maka setidak-tidaknya akan tumbuh semangat yang menyala untuk memotivasi siswa agar terus maju dan giat belajar dan bekerja.
Ketiga, siswa yang berprestasi -tanpa memandang tingkat status ekonomi-layak diberi award, penghargaan, misalnya berupa beasiswa melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri. Contoh semacam ini akan menjadi pemicu bagi siswa yang lain, utamanya dari golongan yang the haven't, kurang mampu, untuk bisa mengejar ketertinggalannya, dalam bidang akademik dan non akademik.
Keempat, perlu adanya jalur khusus bagi siswa yang memiliki bakat dan minat yang berbeda, umpamanya dengan cara memberikan sejumlah ketrampilan yang diminatinya. Ini untuk mencegah tekanan jiwa pada siswa yang hanya memiliki kemampuan intelejensi yang biasa-biasa atau pas-pasan saja, sehingga bisa menyalurkan skill yang tampak menonjol dalam dirinya dan bahkan potensi belum muncul sekalipun.
Kelima, pemerintah, secara formal atau nonformal, minimal sekali-kali meninjau, mengontrol, memonitoring kebijakan yang telah dilontarkannya itu dari jarak dekat. Kegiatan ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah subsidi itu sudah digunakan dengan semestinya atau tidak. Dengan demikian, peristiwa yang tidak diinginkan dapat mencemarkan citra pendidikan, dapat sedini mungkin dicegah.
Dua Kemungkinan
Seandainya pendidikan gratis itu benar-benar direalisasikan, diprediksikan ada dua kemungkinan yang akan muncul, yakni dampak positif dan negatif. Kemungkinan pertama, pendidikan yang diperoleh secara tanpa mengeluarkan biaya, semestinya malah menjadikan faktor untuk meningkatkan pendidikan yang berkualitas. Sebab, orang tua siswa tidak terlalu bersusah payah mengeluarkan sejumlah besar dana untuk membiayai anaknya di sekolah sehingga mereka bisa berkonsentrasi untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka sendiri.
Lalu, agar subsidi itu dimanfaatkan sesuai dengan rencana, maka subsidi seyogianya bukan berupa segepok uang yang diberikan langsung kepada siswa, tetapi alangkah baiknya disalurkan langsung ke sekolah, dan sisanya dalam bentuk buku-buku pelajaran atau bahan bacaan penjunjang. Dan, jika terpaksa subsidi harus dicairkan dalam bentuk sejumlah uang, seharusnya tetap dikontrol oleh pihak sekolah dan orang tua siswa mengenai penggunaan dana sumbangan pendidikan tersebut.
Selanjutnya, kemungkinan kedua, pendidikan gratis dari pemerintah itu bisa jadi membuat mutu pendidikan akan semakin menurun atau sama seperti sebelumnya. Pasalnya, mereka, para siswa dan orang tua yang minim tingkat ekonominya, berpikir bahwa mengenyam pendidikan sekolah itu ternyata gampang, sehingga dalam belajar pun siswa menjadi asal-asalan. Maka dari itu, perlu juga diberikan sanksi bagi siswa yang meremehkan, malas belajar hingga berkali-kali harus 'mandeg' di kelas. Demikian juga orang tua siswa perlu diberi pengertian dan peringatan agar selau membina dan mengarahkan serta mengontrol perkembangan prestasi belajar anaknya di rumah.
Mencermati kemungkinan-kemungkinan tersebut, agaknya program pendidikan gratis bagi kaum miskin kota dan desa, menurut hemat saya, perlu dikaji ulang sebelum dan sesudah launching ke masyarakat. Meskipun, diakui rencana itu baik dan dibutuhkan, namun hal penting yang harus dilakukan oleh berbagai pihak -kelurga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah-- ialah menyaksikan bagaimana praktik riilnya nanti lapangan, apakah berjalan di atas rel telah ditetapkan atau malah keluar dari jalur yang semestinya. Karena, jika pendidikan gratis hanya berorientasi utama agar anak itu bisa sekolah saja, dengan alat dan biaya secukupnya pun hal itu bisa diwujudkan.
Tetapi lebih dari itu, bagaimana pula agar siswa atau anak didik mampu mandiri -tidak terus-menerus menggantungkan bantuan-- dengan mengembangkan segala potensi yang dimilikinya, sehingga pasca tamat sekolah ia dapat melanjutkan ke perguruan tinggi, atau menyalurkan ketrampilannya di suatu instansi, atau mungkin menjadi wiraswasta dengan membuka usaha sendiri yang modalnya diberikan (bukan dipinjamkan) oleh pemerintah secara cuma-cuma. Pendeknya, dengan semua itu, diharapkan anak muda usia yang tidak dapat merampungkan sekolah dan tidak mampu melanjutkan studi serta belum memperoleh pekerjaan yang cocok, sedapat mungkin diminimalisir.
Dengan kata lain, sekolah berfungsi sebagai wadah untuk memperoleh segala ilmu pengetahuan dan membentuk sikap kepribadian yang unik dalam setiap anak jiwa anak didik yang sedang mengalami masa pertumbuhan. Dan, ini juga merupakan tanggung jawab sekolah untuk bekerja bersama para orang tua mengoptimalkan potensi siswa agar mendapat manfaat dari proses belajar di sekolah.
Kemudian dengan adanya potensi-potensi yang itulah, maka siswa diusahakan mampu menemukan solusi yang efektif atas masalah pribadi, dan kelompok atau komunitas baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat dengan memfungsikan sumber daya pengetahuan yang dikuasainya. Berkenaan dengan hal ini, tampaknya kata-kata dari Jerome S Arcaro patut direnungkan, bahwa "tujuan sekolah adalah untuk menemukan apa yang tidak berjalan dan memperbaikinya sebelum hal tersebut menjadi masalah yang bertambah besar". Ini berarti, sekolah diyakini sebagai problem solver, dan juga pencegah problem agar tidak menjelma menjadi problem lebih parah lagi.
Pro Kontra Pendidikan Gratis
            Impian masyarakat akan datangnya pendidikan gratis yang telah ditunggu-tunggu dari sejak zaman kemerdekaan Republik Indonesia telah muncul dengan seiring datangnya fenomena pendidikan gratis untuk Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Fenomena pendidikan gratis ini memang sangat ditunggu-tunggu, pasalnya Pemerintah mengeluarkan dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) untuk menutupi harga-harga buku yang kian hari kian melambung, sumbangan ini itu, gaji guru yang tidak cukup dan biaya-biaya lainnya.
            Dilihat dari perkembanganya, fenomena ini tidak lepas dari pro dan kontra. Bagi yang pro dengan program-program itu mengatakan bahwa itu adalah upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan dan penurunan angka anak putus sekolah, sekolah gratis bagi orangtua bisa mengurangi beban pikirannya untuk masalah biaya pendidikan dan tidak ada lagi anak-anak yang tidak boleh ikut ujian hanya karena belum bayar iuran sekolah. Sedangkan yang kontra berkata pemerintah bagaikan pahlawan kesiangan, Hal ini dikarenakan telah ada yang lebih dulu melakukan hal tersebut, yaitu LSM-LSM yang concern pada bidang pendidikan dan penanganan masyarakat tak mampu. Adanya kurang rasa harus sekolah, kesadaran akan pendidikan sangat kurang, anak lebih mementingkan pekerjaan dari pada harus sekolah yang tidak mengeluarkan apa-apa. Biaya pendidikan gratis hanya sampai dengan Sekolah Menengah Pertama sedangkan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas tidak. Sedangkan tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Ataslah yang merupakan tombak utama dan usia yang mapan untuk mencari pekerjaan serta penghasil devisa negara.
            Sekolah menjadi bermutu karena ditopang oleh peserta didik yang punya semangat belajar. Mereka mau belajar kalau ada tantangan, salah satunya tantangan biaya. Generasi muda dipupuk untuk tidak mempunyai mental serba gratisan. Sebaiknya mental gratisan dikikis habis. Kerja keras, rendah hati, toleran, mampu beradaptasi, dan takwa, itulah yang harus ditumbuhkan agar generasi muda ini mampu bersaing di dunia internasional, mampu ambil bagian dalam percaturan dunia, bukan hanya menjadi bangsa pengagum, bangsa yang rakus mengonsumsi produk. Paling susah adalah pemerintah menciptakan kondisi agar setiap orangtua mendapat penghasilan yang cukup sehingga mampu membiayai pendidikan anak-anaknya.
            Tidak hanya murid saja melainkan guru yang terkena imbas dari pendidikan gratis ini. Kebanyakan dari guru sekolah gratisan mengalami keterbatasan mengembangkan diri dan akhirnya akan kesulitan memotivasi peserta didik sebab harus berpikir soal ”bertahan hidup”. Lebih celaka lagi jika guru berpikiran : pelayanan pada peserta didik sebesar honor saja. Jika demikian situasinya, maka ”jauh panggang dari api” untuk menaikkan mutu pendidikan.
            Sekolah, terutama sekolah swasta kecil, akan kesulitan menutup biaya operasional sekolah, apalagi menyejahterakan gurunya. Pembiayaan seperti listrik, air, perawatan gedung, komputer, alat tulis kantor, transpor, uang makan, dan biaya lain harus dibayar. Mencari donor pun semakin sulit. Sekolah masih bertahan hanya berlandaskan semangat pengabdian pengelolanya. Tanpa iuran dari peserta didik, bagaimana akan menutup pembiayaan itu.

Kualitas Pendidikan vs Pendidikan Gratis

            Pemberlakuan sekolah gratis bukan berarti penurunan kualitas pendidikan, penurunan minat belajar para siswa, dan penurunan tingkat kinrerja guru dalam kegiatan belajar mengajar di dunia pendidikan. Untuk itu bukan hanya siswa saja yang diringankan dalam hal biaya, namun kini para guru juga akan merasa lega dengan kebijakan pemerintah tentang kenaikan akan kesejahteraan guru. Tahun 2009 ini pemerintah telah memutuskan untuk memenuhi ketentuan UUD 1945 pasal 31 tentang alokasi APBN untuk pendidikan sebesar 20%. Sehingga akan tersedianya anggaran untuk menaikkan pendapatan guru, terutama guru pegawai negeri sipil (PNS) berpangkat rendah yang belum berkeluarga dengan masa kerja 0 tahun, sekurang-kurangnya berpendapatan Rp. 2 juta. Dari dana BOS yang diterima sekolah wajib menggunakan dana tersebut untuk pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru, sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP), pembelian buku teks pelajaran, biaya ulangan harian dan ujian, serta biaya perawatan operasional sekolah.
            Sedangkan biaya yang tidak menjadi prioritas sekolah dan memiliki biaya besar, seperti: study tour (karyawisata), studi banding, pembelian seragam bagi siswa dan guru untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris sekolah), serta pembelian bahan atau peralatan yang tidak mendukung kegiatan sekolah, semuanya tidak ditanggung biaya BOS. Dan pemungutan biaya tersebut juga akan tergantung dengan kebijakan tiap-tiap sekolah, serta tentunya pemerintah akan terus mengawasi dan menjamin agar biaya-biaya tersebut tidak memberatkan para siswa dan orangtua. Bagaimana jika suatu waktu terjadi hambatan atau ada sekolah yang masih kekurangan dalam pemenuhan biaya operasionalnya? Pemerintah daerah wajib untuk memenuhi kekurangannya dari dana APBD yang ada. Agar proses belajar-mengajar pun tetap terlaksana tanpa kekurangan biaya.
            Melihat kondisi diatas, semua itu adalah usaha pemerintah untuk mensejahterahkan rakyatnya dalam hal ekonomi dan pendidikan, tapi alangkah baiknya tidak memberlakukan sekolah gratis melainkan sekolah murah, dan program bea siswa. Mengapa sekolah harus murah. Diantaranya; sekolah murah adalah harapan semua orang, tidak hanya para murid dan orangtuanya, namun juga para guru selagi kesejahteraannya mendapatkan jaminan dari pemerintah. Sekolah murah dalam banyak hal bisa menyenangkan, tanpa dibebani tanggungan biaya sekolah sang anak yang mahal, orangtua dapat tenang menyekolahkan anaknya dan urusan pencarian dana untuk memenuhi kebutuhan keluarga lebih dikosentrasikan kepada kebutuhan sandang, pangan, papan dan kesehatan. Sang anak pun bisa tenang melakukan aktivitas pendidikan, sebab tidak lagi merasa menjadi beban bagi orangtua.
            Dan bukankah suasana yang menyenangkan salah satu faktor terpenting dalam proses belajar-mengajar? Bagaimana peserta didik dapat belajar dengan baik jika konsentrasinya harus terbagi memikirkan dana sekolahnya yang belum terlunasi orangtuanya. Ataupun waktu di luar sekolahnya harus terbagi untuk membantu orangtuanya mencari tambahan penghasilan. Tidakkah kasus murid-murid yang bunuh diri karena biaya sekolah yang mencekik belum menjadi peringatan?
            Adanya sekolah murah yang dana aktivitas pendidikannya terbanyak atau sepenuhnya ditanggung pemerintah, bisa menumbuhkan kepercayaan masyarakat akan peran dan keberadaan pemerintah. Kebijakan-kebijakan pemerintah akan segera didengar dan dipatuhi masyarakat selagi masyarakat benar-benar merasa pemerintah berada di pihak mereka dan berusaha menyejahterahkan masyarakatnya. Sebaliknya, pemerintah pun akan memiliki bargaining politik yang kuat. Salah satu prasyarat pemerintahan yang kuat dan berdaulat adalah harus mendapatkan cinta dari rakyatnya.

Penutup
Dari kejadian ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pendidikan gratis itu sangat sulit di wujudkan terhadap suatu Negara yang SDM pengelola pendidikannya masih rendah. Bahkan akan terpuruk pada penurunan kualitas pendidikan itu sendiri. Sekolah negeri yang seharusnya gratis sebab di biayai pemerintah, ternyata tak mampu meningkatkan pendidikan di Negara dan tidak memiliki daya saing dengan sekolah swasta lainnya.
Kurangnya daya saing inilah, baik karena pengelola ataupun guru membuat kualitas pendidikan menurun, guru tak kreatif, dan pembelajaran berlangsung monoton. Dengan begitu akan memunculkan kebosanan pada siswa yang belajar di sekolah tersebut dan kalau di biarkan terus menerus akan menjadikan pendidikan sebagai momok yang di takuti oleh siswa.
Maka dari itu, kalau kita mau mewujudkan pendidikan yang gratis dan berkualitas, harus di iringi dengan pengawasan yang ketat terhadap pengelola pendidikan. Jangan di biarkan begitu saja. Walaupun para pengelola tersebut telah lulus dalam tes sebagai pengelola yang sesuai dengan SOP yang telah di buat, tidak menutup kemungkinan akan turun kualitasnya baik dari segi ilmu, kinerja, dan kreatifitas.
Akan tetapi, pembenahan dari praktik perwujudan program Wajib Belajar 9 tahun tersebut tetap dapat dilakukan secara simultan dengan realisasi program Wajib Belajar 12 Tahun. Artinya, dari perspektif anggaran dan program, masalah pendidikan di semua jenjang pada dasarnya serupa. Jika pemerintah memiliki komitmen kuat untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, pendidikan terjangkau dan bermutu merupakan keniscayaan di republik tercinta ini.
Dengan demikian, pendidikan perlu gratis tentunya hanya untuk masyarakat miskin yang ada di Indonesia.


Minggu, 11 Maret 2012

Pembentukan Karakter Dalam Sekolah

Pembentukan Karakter Dalam Sekolah

Pada mulanya yaitu sebelum ada pendidikan melalui sekolah seperti sekarang ini, maka pendidikan dijalankan secara spontan dan langsung dalam kehidupan sehari-hari di dalam keluarga. Anak-anak petani langsung mempelajari tentang kelautan dan perikanan dengan langsung mengikuti orang dewasa menangkap ikan. Selagi mempelajari pekerjaan yang dilakukan, mereka sekaligus juga belajar tentang nilai-nilai dan norma-norma yang berhubungan denan pekerjaannya. Maka pendidikan pada waktu itu merupakan sesuatu yang konkret, dan tidak direncanakan tetapi langsung berhubungan dengan keperluan hidup 

Seorang anak pertama kalinya memperoleh pendidikan dalam keluarga. Dengan demikian keluarga dapat dikatakan adalah peletak dasar bagi pendidikan seorang anak. Artinya keluarga sangat berperan dalam perkembangan kepribadian anak. Namun pada masa sekarang sekolah dibutuhkan karena masyarakat modern dengan kebudayaan dan peradaban yang telah maju menawarkan demikian banyak kepandaian dengan kerumitan dan kompleksitas yang tinggi sehingga tidak mungkin lagi mempelajari kepandaian yang diperlukan hanya sambil lalu dalam praktek.

Pendidkan sesungguhnya berkaitan erat dengan manusia. N Driyarkara memandang bahwa manusia dan pendidikan merupakan dua sisi dari satu kehidupan. Melalui pendidikan seseorang dapat dimanusiakan menjadi manusia. Persoalannya adalah, apakah kita di negeri ini sudah sampai ideal seperti itu? Lembaga pendidikan di Indonesia ternyata gagal berperan sebagai pranata sosial yang mampu membangun karakter bangsa Indonesia sesuai dengan nilai-nilai normatif kebangsaan yang dicita-citakan.
Munculnya banyak kasus yang destruktif dalam konteks kebangsaan, misalnya terjadinya sentimen antaretnis, perselisihan antarsuku, kasus-kasus narkoba, tawuran antarpelajar, kekerasan terhadap anak, menunjukkan karakter kebangsaan Indonesia saat ini lemah. Saat kebijakan pendidikan masih sering berorientasi politik dengan cara berpikir proyek paradigmanya. Belum ada usaha serius untuk mencari akar dari segala keterpurukan bangsa ini pada pendidikan. Pendidikan juga belum membawa anak didik pada kesadaran akan dirinya sendiri sebagai manusia yang berpikir untuk merdeka yang mana peserta didik sejak awal dilatih memiliki wawasan yang luas mengenai realitas. Pendidikan di negeri ini belum mencerminkan sejauh mana proses transformasi sosial telah berhasil.

Pendidikan kita tidak pernah jujud di dalam mengajar nilai-nilai kebenaran karenasemua dilakukan di area formalisme belaka. Sistem pendidikan kita hanya mengandalkan cara berpikir yang bermuatan kurikulum, bukan pada pembentukan karakter anak didik.

Tanpa habitus baru, pendidikan akan selalu dijadikan pertarungan politik abadi. Di balik itu semua, ada keresahan yang mendapat karena pendidikan cuma dijadikan alat politisasi. Terlebih, peserta didik mengalami frustasi sosial amat parah sebab tidak memperoleh hak untuk mendapatkan pengetahuan yang selayaknya. Kita membutuhkan habitus baru untuk mengelola pendidikan jika tidak mau melihat kehancuran bangsa ini 1-20 tahun yang akan datang.

Pembentukan karakter di sekolah
Deng Xiaoping dalam program reformasi pendidikannya pada tahun 1985 secara eksplisit mengungkapkan tentang pentingnya pendidikan karakter. Throughout the reform of the education system, it is emperative to bear in mind that reform is for the fundamental purpose of turning every citizen into a man or woman of character and cultivating more constructive members of society (‘Decisions of Reform of the Education System’, 1985). Karena itu program pendidikan karater telah menjadi kegiatan yang menonjol di Cina yang dijalankan sejak jenjang pra-sekolah sampai universitas.
Nah, apabila Cina bisa melakukan pendidikan karakter untuk 1,3 miliar menjadi manusia yang berkarakter (rajin, jujur, peduli terhadap sesama, rendah hati, terbuka), Indonesia tentunya bisa melakukannya. Namun, gaung pendidikan karakter belum banyak terdengar dari para pemimpin kita. Tentunya, sebagai warga negara yang bertanggung jawab, kita semua bisa melakukannya dalam sekolah.
Pembentukkan karakter yang dilakukan dalam sekolah-sekolah kita mempunyai beberapa fungsi strategis untuk menumbuhkan kesadaran diri. Kecakapan kesadaran diri pada dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa, sebagai anggota masyarakat dan warga negara, sebagai bagian dari lingkungan, serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sekaligus menjadikannya sebagai modal untuk meningkatkan diri sebagai individu yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun lingkungannya. Dengan kesadaran diri sebagai hamba Tuhan, seseorang akan terdorong untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, serta mengamalkan ajaran agama yang diyakininya. Pendidikan agama bukan dimaknai sebagai pengetahuan semata, tetapi sebagai tuntunan bertindak berperilaku, baik dalam hubungan antara dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa, maupun hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya. Kesadaran diri merupakan proses internalisasi dari informasi yang diterima yang pada saatnya menjadi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan diwujudkan menjadi perilaku keseharian. Oleh karena itu, walaupun kesadaran dirilebih merupakan sikap, namun diperlukan kecakapan untuk menginternalisasi informasi menjadi nilai-nilai dan kemudian mewujudkan menjadi perilaku keseharian.
Kecakapan kesadaran diri tersebut dapat dijabarkan menjadi pertama, kesadaran diri sebagai hamba Tuhan diharapkan mendorong yang bersangkutan untuk beribadah sesuai dengan tuntutan agama yang dianut, berlaku jujur, bekerja keras, disiplin dan amanah terhadap kepercayaan yang dipegangnya. Bukankah prinsip itu termasuk bagian dari akhlak yang diajarkan oleh semua agama? Kedua, kesadaran diri bahwa manusia sebagai makhluk sosial akan mendorong yang bersangkutan untuk berlaku toleran kepada sesama, suka menolong dan menghindari tindakan yang menyakiti orang lain. Bukankah memang Tuhan YME menciptakan manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa untuk saling menghormati dan saling membantu? Bukankah heterogenitas itu harmoni kehidupan yang seharusnya disinergikan? Ketiga, kesadaran diri sebagai makhluk lingkungan merupakan kesadaran bahwa manusia diciptakan Tuhan YME sebagai kholifah di muka bumi dengan amanah memelihara lingkungan. Dengan kesadaran itu, pemeliharaan lingkungan bukan sebagai beban, tetapi sebagai kewajiban ibadah kepada Tuhan YME, sehingga setiap orang akan terdorong untuk melaksanakan.
Keempat, kesadaran diri akan potensi yang dikaruniakan Tuhan kepada kita sebenarnya merupakan bentuk syukur kepada Tuhan. Dengan kesadaran itu, siswa akan terdorong untuk menggali, memelihara, mengembangkan dan memanfaatkan potensi yang dikaruniakan oleh Tuhan, baik berupa fisik maupun psikologis. Oleh karena itu, sejak dini siswa perlu diajak mengenal apa kelebihan dan kekurangan yang dimiliki (sebagai hamba Tuhan) dan kemudian mengoptimalkan kelebihan yang dimiliki dan memperbaiki kekurangannya. Jika siswa menyadari memiliki potensi olahraga, diharapkan akan terdorong untuk mengembangkan potensi tersebut menjadi olahragawan yang berprestasi. Demikian pula untuk potensi jenis lainnya. Walikelas, guru bimbingan konseling, guru bimbingan karier, bahkan semua guru perlu dan dapat berperan dalam mendorong siswa mengenal potensi yang dimiliki dan mengoptimalkan menjadi prestasi belajar.
Kelima, kesadaran tentang pemeliharaan potensi diri (jasmani dan rohani) diharapkan mendorong untuk memelihara jasmani dan rohaninya, karena keduanya merupakan karunia Tuhan yang harus disyukuri. Oleh karena itu, menjaga kebersihan, kesehatan, baik jasmani maupun rohani, merupakan bentuk syukur kepada Tuhan yang dilakukan. Berbagai mata pelajaran dapat menjadi wahana pengembangan kesadaran diri seperti itu, misalnya biologi dan olahraga dapat menjadi wahana yang sangat bagus untuk kesadaran memelihara jasmani, sedangkan agama, kewarganegaraan, sastra dapat menjadi wabana pemeliharaan rohani. Sebagai bentuk syukur kepada Tuhan, potensi yang dikaruniakan kepada kita harus dikembangkan, sehingga setiap orang harus mengembangkan potensiyang dikaruniakanNya. Pengembangan potensi dilakukan dengan mengasah atau melatih potensi itu. Dan itu berarti setiap orang harus terus-menerus belajar.
Jika kesadaran diri sebagai makhluk Tuhan, sebagai makhluk sosial dan makhluk lingkungan, serta kesadaran akan potensi diri dapat dikembangkan akan mampu menumbuhkan kepercayaan diri pada anak didik, karena mengetahui potensi yang dimiliki, sekaligus toleransi kepada sesama teman yang mungkin saja memiliki potensi yang berbeda.
Tentunya, pendidikan karakter adalah berbeda secara konsep dan metodologi dengan pendidikan moral, seperti kewarganegaraan, budi pekerti, atau bahkan pendidikan agama di Indonesia. Pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the goog, and acting the good yaitu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.
Sedangkan pendidikan moral, misalnya kewarganegaraan dan pelajaran agama hanya melibatkan aspek kognitif (hapalan) tanpa ada apresiasi (emosi) dan praktik. Sehingga jangan heran kalau banyak manusia Indonesia yang hapal isi Pancasila atau ayat-ayat suci, tetapi tidak tahu bagaimana membuang sampah yang benar, berlaku jujur, beretos kerja tinggi, dan menjalin hubungan harmonis dengan sesama.
Dalam hubungan ini maka apa yang disarankan Unesco perlu diperhatikan yaitu bahwa pendidikan harus mengandung tiga unsur: (a) belajar untuk tahu (learn to know). (b) belajar untuk berbuat (learn to do). (c). belajar untuk bersama (learn to live together). Unsur pertama dan kedua lebih terarah membentuk having, agar sumber daya manusia mempunyai kualitas dalam pengetahuan dan keterampilan atau skill. Unsur ketiga lebih terarah being menuju pembentukan karakter bangsa. Kini, unsur itu menjadi amat penting. Pembangkitan rasa nasionalisme, yang bukan ke arah nasionalisme sempit, penanaman etika berkehidupan bersama, termasuk berbangsa dan bernegara; pemahaman hak asasi manusia secara benar, menghargai perbedaan pendapat tidak memaksakan kehendak, pengembangan sensitivitas sosial dan lingkungan dan sebagainya merupakan beberapa hal dari unsur pendidikan melalui belajar untuk hidup bersama. Pendidikan dari unsur ketiga ini sudah semestinya dimulai sejak Taman Kanak-Kanak hingga perguruan tinggi. Penyesuaian dalam materi dan cara penyampaiannya tentu saja diperlukan.

Dampak pendidikan karakter
Apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership.
Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dariUniversity of Missouri - St Louis, menunjukkan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambar keberhasilan akademik
Pendidikan karakter ada-lah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongong masa depan karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Dalam buku Emotional Intelligence and School Succes (Joseph Zins, et. al 2001) mengkomplikasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor risiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor risiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ).
Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesuliran belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas dan sebagainya.
Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Kalau seorang anak mendapat pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya. Namun banyak orangtua yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter. Selain itu Daniel Goleman juga mengatakan bahwa banyak orangtua yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya entah karena kesibukan atau karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Namun ini semua dapat dikoreksi dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah.
Jadi, pendidikan karakter atau budi pekerti plus adalah suatu yang urgen untukdilakukan. Kalau kita peduli untuk meningkatkan mutu lulusan SD, SMP dan SMU, maka tanpa pendidikan karakter adalah usaha yang sia-sia. Mahatma Gandhi memperingatkan tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu "education without character" (pendidikan tanpa karakter). Dr. Martin Luther King juga pernah berkata: "Intelligence plus character... that is the good od true education" (Kecerdasan plus karakter.... itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya). Juga Theodore Roosevelt yang mengatakan: "To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society". Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat.