ALIH TEKNOLOGI PADA INVESTASI
ASING
LANGSUNG DI INDONESIA
LANGSUNG DI INDONESIA
A. PENDAHULUAN
Kemantapan kondisi sosial
ekonomi merupakan salah satu indikator suatu negara dikatakan berkembang atau
maju. Kemantapan tersebut akan menimbulkan kegairahan pada dinamika pembangunan
infrastruktur maupun suprastruktur suatu negara. Dinamika pembangunan ekonomi
suatu negara memerlukan banyak faktor pendukung antara lain; sumber daya alam,
sumber daya manusia serta tidak kalah pentingnya adalah stabilitas politik dan
hukum. Kerangka hukum yang stabil akan mendorong arus investasi asing. Korea
Selatan salah satu contoh dari
negara-negara Asia Timur yang berhasil menarik modal asing (Jurnal of
Internasional Law and Economic, 1980: 236). Untuk mewujudkan hal itu
diperlukan tidak sedikit modal baik dalam negeri maupun dari luar negeri.
Pinjaman modal luar
negeri ada yang bersifat lunak artinya bunga yang dikenakan tidak besar dan
jangka waktu pengembaliannya lama. Besarnya pinjaman dana dari luar negeri akan
mempengaruhi neraca pembayaran negara (Jawa Pos, 1996). Hal ini terbukti pada
komitmen bantuan yang disetujui untuk Indonesia
dalam Sidang CGI di Paris 19 Juni 1996 adalah sebesr US$ 5,256 miliar (sebagian
diantaranya bantuan lunak). Saat ini akumulasi hutang luar negeri Indonesia
menjadi penghutang nomor satu di Asia . Untuk membantu
mengurangi neraca pembayaran luar negeri tersebut pemerintah mengajak pemodal
nasional maupun asing untuk menanamkan modalnya dalam rangka mewujudkan ekonomi
potensial yang ada menjadi kekuatan ekonomi riil yang pada gilirannya akan
membantu pembayaran hutang luar negeri.
Sejak diundangkannya UU
No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA), peranan modal asing
dalam pembangunan ekonomi Indonesia terus menunjukkan peningkatannya. Modal
asing yang semula dimaksudkan hanya sebagai pelengkap dalam pembangunan kini
bergeser tidak hanya sebagai pelengkap lagi atau dengan kata lain sangat
dibutuhkan. Ada atau tidaknya modal
asing akan ikut mempengaruhi cepat atau lambatnya laju pertumbuhan ekonomi
secara nasional (Asril Noer: Pelaksanaan
PP No. 20 Tahun 1994 dan SK Menives No. 15 Tahun 1994, 1994: 21).
Tidak adanya kewajiban
untuk melaporkan adanya alih teknologi dalam bentuk yang luas melalui investasi
asing langsung, mengakibatkan tidak terdeteksinya banyaknya alih teknologi
tersebut.
B. Alih Teknologi
Teknologi memiliki nilai
yang tinggi, karena proses penemuan membutuhkan waktu, tenaga, fikiran dan
biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu pemiliknya diberi hak eksklusif untuk
menggunakan atau memanfaatkan teknologinya guna keperluan industri atau bidang
ekonomi. Dengan demikian, pihak lain tidak mempunyai hak untuk menggunakan
teknologi tersebut, kecuali atas izin pemiliknya.
Sampai saat ini,
negara-negara maju memiliki kemampuan besar dalam penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta besarnya dana yang dipergunakan untuk penelitian dan
pengembangan. Untuk mempercepat proses penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta untuk mengejar kemajuan teknologi, diperlukan alih teknologi.
Sebelum membahas masalah alih teknologi, penulis menganggap perlu untuk
mengawalinya dengan difinisi teknologi itu sendiri.
Istilah teknologi berasal
dari perkataan Yunani technologia,
dari akar kata techne yang berarti
seni atau ketrampilan dan kata logos
yang berarti perkataan atau pembicaraan. Dalam perkembangannya teknologi
diartikan sebagai “seni memproduksi alat-alat produksi dan menggunakannya.”
Kemudian berkembang menjadi penggunaan “ilmu pengetahuan sesuai dengan
kebutuhannya.” (The Liang Gie, 1984: 31)
Definisi para ahli
tentang teknologi pun berbeda-beda. Menurut Lowell W. Steelle, teknologi
diartikan sebagai kumpulan pengetahuan, ketrampilan dan kebiasaan yang
memberikan kemampuan menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa, merancang dan
mengembangkan hal-hal baru bilamana perlu, menerapkan semua itu pada
keperluan-keperluan khusus pelanggan, membangun dan merawat semua itu.
Alih teknologi merupakan
salah satu masalah dalam investasi asing langsung. Masalah ini biasanya menjadi
konflik sejak terjadi perbedaan pandangan mengenai alih teknologi antara negara
pemilik teknologi dengan negara penerima teknologi. Negara pemilik teknologi
bermaksud mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin dengan sumber yang terbatas
yang dimilikinya (Purnawan, 1995: 75).
World International Property Organization (WIPO) juga memberikan
pengertian teknologi secara luas, tidak hanya berkenaan dengan perangkat
kerasnya saja namun juga menyangkut perangkat kerasnya yaitu (WIPO, 1977: 28):
Technology
means systematic knowledge for the manufacture of product, the application of a
process or redering a service, whether that knowledge be reflected in
invention, an indutrial design, a utility model, or a new plant variety, or in
technical information or skills, or in the services assistance provide by
experts for the design, installation, operation, or maintenance of an indutrial
plant or for the management of an industrial or commercial enterprise or its
activities.
Pengertian tersebut di
atas maksudnya adalah bahwa Teknologi merupakan pengetahuan sistematis untuk
membuat suatu produk, menjalankan proses, memberikan servis atau jasa, baik itu
berbentuk paten, desain industri, paten sederhana, atau varietas
tumbuhan/tanaman baru, informasi teknik atau ketrampilan, ataupun dalam bentuk
bantuan jasa-jasa para ahli untuk perencanaan, pemasangan, pengoperasian,
pemeliharaan industri, atau untuk manajemen industri, perusahaan komersial dan
segala aktivitasnya. Dengan demikian teknologi dapat berupa paten, disain
industri, utility models, new plant variety dan know how.
Definisi alih teknologi
ada beberapa macam, antara lain menurut International Code of Conduct on Transfer of
Technology yang dibuat United Nations
Conference on Trade and Development (UNCTAD) pada tahun 1975:
Covers
any kinds of transfer of proprietary and non proprietary technology irrespective of the legal form of such
transfer, including technology transferaction associated with establishment and
operation of wholly owned subsidiaries or affiliates of transnational
corporations and other foreign enterprise, and of joint with various degrees of
foreign ownership
Pada tahun 1989,
pengertian alih teknologi tersebut diperbaharui kembali oleh UNCTAD, yaitu
bahwa alih teknologi adalah pengalihan pengetahuan sistimatis untuk
menghasilkan suatu produk, penerapan suatu proses atau menghasilkan suatu jasa,
dan tidak mencakup penjualan atau leasing barang.
United Nations Centre on Transnational Corporation (UNCTC)
mendifinisikan .alih teknologi sebagai suatu proses kemampuan teknologi dari
luar negeri, yang dapat diurai dalam tiga tahapan yaitu (Khairandy, 1982: 1) :
1.
Peralihan teknologi yang ada ke dalam
produksi barang dan jasa tertentu;
2.
Asimilasi dan difusi teknologi tersebut
ke dalam perekonomian negara penerima teknologi tersebut; dan
3.
Pengembangan kemampuan indigeneous technology untuk
inovasi.
Bhattasali dalam bukunya Transfer of Technology among Developing
Countries seperti dikutip oleh Sunaryati Hartono, menyatakan bahwa
pengalihan teknologi bukan hanya sekedar (harus) pemindahan saja, akan tetapi
terutama teknologi yang tadinya asing itu, harus diadaptasikan ke dalam
lingkungan yang baru, dan kemudian harus terjadi asimilasi serta inovasi
sedemikian rupa, sehingga teknologi asing ini akhirnya menjadi bagian dari pada
kebudayaan bangsa yang menerima teknologi yang semula asing tersebut (Hartono,
1981: 190).
C.
Investasi Asing Langsung (Foreign Direct Invesment)
Investasi asing langsung adalah arus modal
kewiraswastaan dalam bentuk ramuan ketrampilan manajerial dan pinjaman
keuangan. Dalam definisi neraca pembayaran yang lebih spesifik, hal itu berarti
setiap arus pinjaman kepada, atau pembelian hak milik dari perusahaan asing
yang sebagian besar dimiliki oleh neraga “sumber” pendapatan yang diperoleh
oleh para pemodal langsung merupakan gabungan dari bunga, deviden, ongkos
lisensi dan biaya manajerila sebagian IAL terdiri dari investasi di cabang
perusahaan asing oleh suatu perusahaan induk yang berpusat di suatu negara
sumber tertentu. Dalam kasus lainnya, perusahaan yang melakukan investasi
tersebut benar-benar merupakan perusahaan multi-nasional yang negara asalnya
tidak jelas
Investasi asing langsung
tumbuh dengan cepat pada awal kurun waktu setelah perang dan Amerika Serikat
merupakan negara penanaman modal terbesar. Sejak awal tahun 1970-an, telah
tumbuh lebih lambat dan berubah arah. Investasi langsung dalam bidang
pertambangan telah pudar digantikan dengan investasi di bidang manufaktur yang
semakin meningkat, khususnya dalam teknologi tinggi.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan sehubungan
dengan investasi langsung dan keberadaan perusahaan multinasional baik di
negara, negara induk dan dunia sebagai keseluruhan, akan terutama ditekankan
pada kebijakan yang berhubungan dengan negeri tuan rumah. Perasaan tidak senang
dari negeri tuan rumah terhadap penguasaan asing dari usaha dalam negeri
merupakan faktor penting di dalam kebijaksanaan mengenai investasi lengsung
kebijaksanaan paling baik adalah melalui peralatan makro ekonomi.
Peraturan hukum di bidang investasi asing
merupakan instrument yang sangat penting untuk mendorong investasi modal asing
dalam pembangunan ekonomi domestik. Pada tahun 1960-an hampir seluruh negara
ASEAN mulai membuat peraturan hukum untuk mendorong investasi asing karena
modal domestik yang dimilikinya tidak mencukupi.
Pada awal pemerintahan orde baru,
pemerintah melakukan suatu perubahan kebijakan investasi asing yang sangat
penting yaitu dikeluarkannya Undang-undang No.1 tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing setelah satu dasawarsa melakukan nasionalisasi dan ‘bermusuhan’
dengan Penanaman Modal Asing khususnya dari negara-negara Barat.
Ketentuan-ketentuan dalam UUPMA tersebut diterapkan terhadap seluruh perusahaan
yang modal domestiknya kurang dari 100 % yang beroperasi di bawah pengaturan Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan lembaga sebelumnya yaitu Panitia Teknis
Penanaman Modal Asing.
Pasal 1 UU No.1 tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing (UUPMA) menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan penanaman
modal asing dalam Undang-undang tersebut hanyalah meliputi penanaman modal
asing yang dilakukan menurut atau berdasarkan ketentuan-ketentuan Undang-undang
ini dan yang digunakan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam arti
bahwa pemilik modal secara langsung menanggung risiko dari penanaman modal
tersebut. Dengan kata lain penanaman modal asing yang diperbolehkan oleh UUPMA
adalah investasi langsung (foreign direct
invesment).
Pengertian secara umum mengenai modal asing
pada dasarnya adalah modal yang berasal dari luar negeri dan dimasukkan ke
wilayah suatu negara untuk diinvestasikan lebih lanjut melalui berbagai
kegiatan yang bersifat ekonomis (Lubis, 1987: 31). Batasan modal asing secara
yuridis dapat dilihat dalam Pasal 2 UU No.1 tahun 1967 (UUPMA) yaitu:
a.
Alat pembayaran luar negeri yang tidak
merupakan bagian dari kekayaan devisa Indonesia,
yang dengan persetujuan Pemerintah digunakan untuk pembiayaan perusahaan di Indonesia;
b.
Alat-alat untuk perusahaan, termasuk
penemuan-penemuan baru milik orang asing dan bahan, yang dimasukkan dari luar
negeri ke dalam wilayah Indonesia,
selama alat-alat tersebut tidak dibiayai dari kekayaan devisa Indonesia;
c.
Bagian dari hasil perusahaan yang
didasarkan Undang-undang ini diperkenankan ditransfer, tetapi dipergunakan
untuk membiayai perusahaan di Indonesia.
Modal asing dalam kerangka UUPMA
berdasarkan ketentuan Pasal 2 tersebut dapat disimpulkan, bahwa modal asing
dapat berupa:
1.
Berupa alat pembayaran luar negeri atau
valuta asing (foreign exchange) yang
terdiri dari uang kertas dalam bentuk mata uang asing, wesel,
cek, dan lain-lain yang dapat dipergunakan sebagai alat pembayaran
internasional.
2.
Berupa alat-alat, penemuan-penemuan, dan
bahan-bahan.
Bentuk kedua tersebut dapat berupa:
1.
Perangkat lunak (Software) seperti know how.
2.
Perangkat keras (Hardware), seperti mesin-mesin, peralatan, bahan-bahan, disain yang
berwujud atau teknologi.
Pasal 3 UUPMA menyatakan, bahwa perusahaan
PMA yang dijalankan untuk seluruhnya atau sebagian terbesar di Indonesia
sebagai kesatuan perusahaan tersendiri harus berbentuk badan hukum menurut
hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia.
Badan hukum tersebut harus berbentuk perseroan terbatas. Apabila terjadi
sengketa hukum tidak akan menimbulkan persoalan rumit dengan persoalan pilihan
hukum.
Menurut Lubis (1987: 88) faktor yang sangat
penting terhadap manfaat dan biaya investasi asing bagi negara penerima adalah
suasana kebijakan negara penerima itu dimana perusahaan Penanaman Modal Asing
menawarkan suatu paket produksi, manajemen, dan teknologi serta pemasaran sedangkan
negara penerima memaksimalkan pangsa pinjaman atas faktor-faktor tersebut
sehingga konsisten dengan tujuan pembangunan dalam arti luas.
Keberadaan modal asing bagi suatu negara
(tidak terkecuali Indonesia)
memang diperlukan sebagai pelengkap dalam pembangunan ekonomi nasional (Lubis,
1987: 88), hal ini sedikitnya ada dua alasan yaitu:
Pertama: dalam hal investasi asing, banyak negara
berupaya menghindarkan ketergantungan terhadap satu atau beberapa negara. Hal
ini bukanlah sekedar menyadari kepekaan politik, sentimen nasional atau bahkan
kekhawatiran terhadap manipulasi asing melainkan ada alasan-alasan penting
secara ekonomis.
Kedua: saat ini menurut pengamatan sementara
kalangan, ada kecenderungan perbedaan perilaku para penanam modal asing dari
berbagai negara. Hal tersebut termasuk faktor-faktor seperti kecenderungan
perusahaan untuk mengekspor, memasuki usaha-usaha patungan dan mengalihkan
serta menyesuaikan teknologi.
Kedua alasan tersebut sesuai dengan kondisi
Indonesia dan
dengan demikian kiranya bermanfaat mempelajari komposisi investasi asing
berdasarkan negara asal. Hal ini terjadi pada perusahaan Jepang yang sejak Orde
Baru merupakan negara yang dominan dalam menginvestasikan dananya ke Indonesia
yang meskipun pada 15 Januari 1974 terjadi demonstrasi massa yang menolak
kehadiran modal asing di Indonesia. Hal ini merupakan latar belakang
diberlakukannya investasi luar negeri di Indonesia,
khususnya pada masa Orde Baru.
Pertengahan tahun 1992 Cina berhasil
menarik modal asing sebesar US $ 15 billion dari US $ 300 milyar investasi
dunia yang diperebutkan oleh negara maju dan berkembang. Indonesia pada saat
itu masih tertinggal dengan Malaysia, Vietnam, Thailand yang memberikan banyak
peluang kemudahan (insentif) untuk meningkatkan masuknya arus modal asing
seperti dibukanya modal asing 100 %, hak guna tanah selama antara 70-90 tahun,
keringanan pajak, penggunaan air dan lainnya. Kebijakan hukum dan peraturan
pemerintah mengenai rangsangan investasi dan pengawasan tidak hanya penting
bagi pembangunan negara tetapi juga menjelaskan gambaran bagaimana
perundang-undangan dapat berpengaruh langsung pada aktifitas ekonomi. Dengan
memperhatikan gejala tersebut maka Pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan
deregulasi untuk lebih menarik modal asing yaitu dengan dikeluarkannya PP No.
17 tahun 1992 dan terakhir PP No. 20 tentang Kepemilikan Saham dalam Perusahaan
Penanaman Modal Asing. Sebenarnya UU No. 1 Tahun 1967 telah mengatur mengenai
kepemilikan 100% asing namun pada tahun 1974 terjadi peristiwa Malari maka
ketentuan modal asing 100% dilarang.
Bentuk keterlibatan asing tersebut
merupakan hal penting bagi Indonesia.
Jarang sekali perusahaan dalam sektor manufaktur modern misalnya di Indonesia
yang tidak memiliki ikatan komersiil dengan pihak asing kecuali untuk kegiatan
tradisional yaitu industri makanan.
Pengaturan komersial ini berkisar dari yang
sederhana yaitu hubungan informal kadang-kadang mencakup bantuan pemasaran an
teknologi sampai pada persetujuan lisensi dimana pemberi lisensi asing secara
luas bertanggung jawab besar terhadap operasi perusahaan tersebut. Indikasi
lain yang sangat mendekati tentang relatif pentingnya investasi asing langsung
dan bentuk lain masuknya teknologi yaitu pola impor barang modal ke Indonesia.
Kebanyakan valuta asing langsung berbentuk pembayaran peralatan modal dan mesin
impor. Realisasi modal asing dalam bidang manufaktur merupakan bagian kecil
dibanding impor barang modal.
D. Alih Teknologi dalam Investasi Asing Langsung di Indonesia
Data mengenai investasi asing langsung
dipergunakan secara luas sebagai indikator aktivitas perusahaan multi nasional.
Dalam konsep, investasi asing langsung berhubungan dengan aliran dana yang
menyertai keterlibatan manajerial dan pengawasan yang efektif. International
Monetary Fund (IMF) memberikan batasan investasi asing langsung yaitu bahwa
investasi itu dibuat dalam rangka memenuhi kepentingan abadi (selamanya) dalam
operasi ekonomi perusahaan dengan tujuan dapat mengefektifkan suara dalam
manajemen perusahaan:
Teori investasi langsung pada dasarnya
adalah untuk mencari jawaban atas pertanyaan mengapa perusahaan-perusahaan
melakukan investasi luar negeri langsung sebagai suatu bentuk keterlibatan
internasional. Investasi luar negeri langsung biasanya dianggap bentuk lain
pemindahan modal yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan ataupun orang-orang
dalam satu negara dalam aktivitas ekonomi negara lain yang melibatkan beberapa
bentuk partisipasi modal di bidang usaha yang mereka investasikan. Investasi
luar negeri langsung dapat dibandingkan dengan investasi portofolio yang tidak
melibatkan partisipasi manajemen.
Stephen Hymer menganggap bahwa investasi
luar negeri langsung sebagai arus modal dalam kerangka teori neoklasik mengenai
investasi riil yang sesungguhnya belum memuaskan. Ia mengajukan pendekatan
organisasi industri yang menekankan peranan keunggulan-keunggulan (Advantages) khas perusahaan dan
ketidaksempurnaan pasar (Imperfection
market).
Mengalirnya
investasi asing ke negara-negara ASEAN pada tahun 1970-an dan 1980-an tidak
menunjukkan apa yang akan terjadi pada era 1990-an, meskipun tahun 1990-an
untuk saat ini mencerminkan meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan investasi
asing langsung (Direct foreign invesment)
di wilayah tersebut. Alasan utama dari keberhasilan negara ASEAN tersebut
dibandingkan dengan negara Asia serta negara berkembang
lainnya adalah karakteristik kebijakan dan hukum yang secara bersama-sama
mendukung pendekatan secara terpadu terhadap investasi asing langsung dan
pembangunan disektor swasta.
Keberhasilan perdagangan barang-barang ke
luar negeri, sering diikuti dengan alih teknologi terhadap produsen asing
(lokal), hal ini mendorong keyakinan pengusaha Amerika untuk mendirikan
perusahaan atau melakukan investasi ke luar negeri.
Sifat dasar dan ruang lingkup mengenai
masalah-masalah yang timbul dalam alih teknologi di negara berkembang
tergantung pada bentuk, luas dan metode yang diambil atau dipakai untuk
mengalihkan seperti masalah teknologi, ekonomi dan sistem hukum yang berlaku di
negara penerima alih teknologi tersebut.
Negara berkembang (termasuk Indonesia)
hampir selalu membeli dan jarang sekali menjual teknologi. Negara berkembang
(NB) mempunyai ketergantungan terhadap sumber-sumber eksternal mengenai
pengetahuan teknologi dari pada negara maju. Berdasarkan pandangan
kebijakannya, NB percaya bahwa ilmu, teknologi dan pengetahuan merupakan bagian
dari warisan umat manusia dan harus serta dapat berharga bagi manusia dengan beberapa pembatasannya.
Mereka juga berkeinginan untuk menghasilkan sebanyak mungkin teknologi yang
dimilikinya atau paling tidak memakai teknologi yang tersedia sebagai dasar
dalam perdagangan setelah melalui proses seleksi yang serius.
Modal asing yang masuk ke Indonesia
saat ini menunjukkan angka yang menggembirakan. Persetujuan BKPM terhadap
proyek Penanaman Modal Asing sampai pada tanggal 15 September 1996 mencapai
nilai US $ 13.853,5 juta atau 56,28 %. Angka tersebut lebih kecil jika
dibandingkan nilai investasi asing yaitu; US $ 26.892,1 juta atau 67,37 %, hal
ini dikarenakan tahun ini tidak ada mega proyek asing yang mengajukan
permohonan investasi.
Perusahaan-perusahaan modal asing
(investasi asing langsung) di Indonesia
dalam mengoperasikan perusahaannya menggunakan teknologi mulai dari teknologi
ringan, menengah maupun tinggi. Jepang, Taiwan
dan Korea
sebagai contoh, mempergunakan teknologi rendah di bidang tekstil, tetapi di
bidang produk-produk elektronik, kimia atau mesin, mereka menggunakan teknologi
tinggi industri.
B.N. Bhattasali menggambarkan, bahwa secara
garis besar, teknologi dapat dialihkan melalui saluran-saluran sebagai berikut:
1.
Kerjasama antara dua negara atau lebih
yaitu baik berupa pinjaman (kredit) atau bantuan.
2.
Kerjasama antara dua perusahaan. Melalui
saluran ini, alih teknologi didasarkan atas kontrak; technical assistance
contract, franchice, joint venture, license contract, management contract,
technical services, turn key contract, international sub contracting.
3.
Kerjasama antara lembaga-lembaga
international
United Nations Centre on Transnational
Corporation (UNCTC) membagi kontrak-kontrak teknologi ke dalam dua kategori
utama yaitu: Pertama, licencing agreements, kontrak semacam ini antara lain
mencakup kontrak yang berkaitan dengan paten, know how, merek perdagangan dan
franchise. Kedua, kontrak-kontrak yang berhubungan dengan bantuan teknik (technical
assistance), yang termasuk dalam kategori kedua ini antara lain: turn key
contract, contract for providing technical assistance, dan design and
engineering contract.
Perbedaan tersebut didasarkan pada tujuan
kontrak, kewajiban para pihak, hubungan kontraktual dan cara-cara pembayaran
teknologi yang dialihkan. Perbedaan utama kedua kategori tersebut terletak pada
fakta, bahwa kontrak lisensi adalah suatu hak yang dilindungi, sedangkan
kontrak-kontrak yang berkaitan dengan batuan teknik mempunyai karakteristik
perjanjian jual beli.
Setiap negara memerlukan alih teknologi
yang tepat guna, agar dapat membawa kemajuan dan menyerap tenaga kerja. Ada
beberapa cara yang dapat dilakukan dalam alih teknologi:
1.
Mempekerjakan tenaga-tenaga ahli asing
Dengan cara ini, teknologi relatif mudah didapatkan, teknologi
disini berupa teknik dan proses manufakturing yang tidak dipatenkan. Umumnya
cara ini cocok untuk industri kecil dan menengah, seperti berbagai macam
industri engineering, makanan dan costumer
good lainnya.
2.
Menyelenggarakan suplai dari mesin-mesin
dan sarana lainnya. Suplai ini dilaksanakan dengan kontrak tersendiri dan
biasanya untuk peralihan operasional teknologi. Ada
kalanya dalam kontrak ini dicantumkan ketentuan-ketentuan khusus seperti
training yang ekstensif untuk tenaga-tenaga lokal atau bantuan suplier dalam plant operation.
3.
Perjanjian lisensi atau kontrak lisensi
Dengan cara ini pemilik teknologi mengalihkan teknologinya
dengan jalan memberikan lisensi kepada pihak lain dalam ikatan perjanjian untuk
melaksanakan teknologinya seperti lisensi paten, disain produk industri maupun
merek.
Berdasarkan kontrak teknologi atau
cara-cara pengalihan teknologi yang disebut di atas, kontrak lisensi merupakan
cara yang terpenting dan terefektif. Sebagai buktinya dapat dilihat pada
investasi asing langsung Jepang ke Indonesia
dari tahun 1981-1991 yaitu terdapat 157.25 alih teknologi dengan cara lisensi.
E. PENUTUP
Secara teoritis, masuknya modal asing ke Indonesia
dewasa ini ikut mendorong bangkitnya penanaman modal dalam negeri dengan
memperhatikan keunggulan mutlak maupun komparatifnya. Investasi asing tersebut
merupakan salah satu bentuk perdagangan internasional, baik itu antara negara,
negara dengan pihak swasta asing, maupun antara swasta lokal dengan swasta
asing.
Alih teknologi yang terjadi di Indonesia
dalam rangka investasi asing langsung, ternyata tidak berjalan secara otomatis,
artinya apa yang isyaratkan dalam pasal 11 dan 12 UUPMA tidak berjalan dengan
baik. Hal ini disebabkan bahwa pihak asing selalu berusaha mendapatkan
keuntungan lebih dari investasi tersebut, sehingga alih teknologi yang
dikehendaki oleh pihak nasional baru dapat direalisasikan apabila diadakan
kontrak tersendiri untuk kepentingan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Asril Noer, “Bidang-bidang
Usaha yang Prospektif bagi PMDN/PMA dalam rangka GATT dan APEC”, makalah
pada seminar dua hari Pelaksanaan PP No. 20 tahun 1994 dan SK Menives No. 15
tahun 1994, Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 9 Desember 1994.
Erman Rajagukguk, Hukum
Investasi, tidak diterbitkan, UI, Jakarta, 1995.
Hal Hill, Investasi Asing
dan Industrialisasi di Indonesia, cetakan pertama, LP3ES, Jakarta, 1991.
J.G. Castle, A.L.C. de
Mestral, W.C. Graham, The Canadian Law and Practice of International Trade
with Particular Emphasis on Export and Import of Goods and Services, Emond
Montgomery Publication Ltd, Toronto, Canada, 1991.
Leonard J. Theberger, “Law
and Economic Development,” Journal of International Law and Policy, Vol. 9.
231, 1980.
M. Edhie Purnawan, “Japanese
Foreign Direct Invesment and Its Technology Transfer in Indonesia, “ Kelola, No. 10/IV/1995.
Ralph H. Folsom, Michael
Wallace Gordon, John A. Spanogle, Jr, International Business Transaction: A
Problem Oriented Coursebook, West Publishing Co, St. Paul, Minn, 1995.
Ridwan Khairandy, Pengaturan
Hukum dan Implementasi man Modal Asing (PMA) Patungan (Joint Venture),
Laporan Penelitian, Yogyakarta, tidak diterbitkan, 1993.
Sue S. C. Tang, “The
Legislative Framework for Direct Foreign Invesment in ASEAN”, ASEAN
Economic Bulletin, Vol. 10 No. 2, November 1993.
T. Mulya Lubis, Hukum dan
Ekonomi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987.
WIPO, Licencing Guidefor
Developing Countries, Geneva, 1977.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar