Prinsip Sistem Ekonomi
Islam
KEADILAN DAN MEMERANGI KEDZALIMAN DAN KEBATHILAN
Konsep Keadilan
Islam bertujuan
untuk membentuk masyarakat dengan tatanan kehidupan yang solid. Islam
menganggap semua anggota masyarakat memiliki hak yang yang sama di hadapan
Allah. Hukum Allah tidak membedakan yang kaya dan yang miskin, tidak membedakan
yang hitam dan yang putih. Keberadaan mereka dalam sebuah sistem yang Islami
merupakan jaminan untuk mendapatkan hak-hak yang ditetapkan untuk mereka. Di
hadapan Allah, hanya ketaqwaan untuk melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya yang akan membedakan derajat di sisi Allah. Allah akan memberikan
penghargaan yang tinggi bagi mereka yang memiliki kegigihan, ketulusan hati,
dan kemampuan tinggi, dan pengabdiannya yang luhur untuk Islam. Rasulullah SAW
bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak melihat pada
wajah dan kekayaanmu, tapi pada hati dan perbuatan (yang ikhlas)." (H.R. lbnu Majah No. 4133, dalam
kitab Zuhud)
Sifat-sifat tersebut merupakan cerminan dari ketaqwaan
seseorang. Lebih tegas lagi Rasulullah menekankan akibat buruk dari diskriminasi
hukum. Bila orang terpandang mencuri maka dibebaskan, tapi jika yang mencuri
itu orang-orang biasa (lemah) maka hukuman akan diperberat. Sehubungan dengan
ini, Rasulullah bersabda:
"Andaikan Fatimah, anak
perempuan Muhammad mencuri, sungguh aku sendiri yang akan memotong
tangannya." (H.R
An Nasai nomor 4814 dalam kitab Qath'u As-Sariq)
Perlakuan adil akan membawa kesejahteraan, karena
kesejahteraan sangat tergantung pada diberlakukannya hukum Allah dan
dihilangkannya ketidakadilan. Dalam tatanan itu, setiap individu dalam
masyarakat akan diikat oleh kesamaan perasaan, pemikiran, dan peraturan yang
Islami. Sebuah ikatan ideologis yang meliputi seluruh belahan dunia dan tak
terikat oleh batas geografis.
"Hai manusia,
sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan serta menjadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu
saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah adalah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal" (QS. AI Hujurat:13)
"Hai orang-orang yang beriman,
hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah kamu, karena adil itu
lebih dekat dengan taqwa. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Q.S. Al Maidah: 8)
Keadilan Ekonomi dalam Masyarakat
Setiap individu mempunyai hak sekaligus kewajiban yang
harus dipenuhi dalam sebuah masyarakat Islam. Seorang individu memiliki hak
untuk dapat hidup secara layak. Hak ini wajib dipenuhi dan menjadi tanggung
jawab seluruh anggota masyarakat baik individu itu sendiri, individu lain
maupun negara. Tanpa hak tersebut, individu tidak dapat menikmati kesejahteraan
dan menghindari terjadinya kekacauan dalam masyarakat. Ia akan mengalami
penindasan tanpa ada yang peduli terhadap hal itu.
Islam mengakui dan menjamin terpenuhinya hak individu
secara benar. Islam mengakui adanya hak individu untuk memiliki harta,
mengkonsumsinya, membelanjakannya atau mengembangkannya. Individu juga memiliki
hak-hak lain seputar ekonomi yang diatur oleh syari’at dan tidak dapat dicabut
dengan kesewenang-wenangan. Meski, dalam pelaksanaannya harus tetap berpegang
kepada aturan syariah agar tidak merugikan kepentingan individu lain dalam
masyarakat.
Islam mengajarkan bahwa kebebasan yang dipropagandakan
oleh kapitalisme sangat bertentangan dengan syara’ dan tidak mungkin dilakukan.
Bagaimanapun, kebebasan individu akan senantiasa bersinggungan sehingga dengan
sendirinya dibatasi oleh kebebasan individu lain. Oleh karenanya, jaminan
pemenuhan hak-hak individu harus tetap dilakukan berpijak kepada ketetapan
syara’. Tidak diperkenankan secara tegas mengambil hak-hak orang lain secara
bathil. Dalam hal ini, negara yang akan menjamin dan mengatur setiap pemenuhan
hak-hak individu. Negara dapat memaksa individu untuk mengembalikan hak orang
lain yang telah diambilnya secara batil dan memberi hukuman sesuai dengan
pelanggaran yang dilakukan. Hasil korupsi harus dikembalikan kepada negara,
hasil riba harus dikembalikan kepada penghutang, dan hasil penipuan harus
diserahkan kembali kepada pihak tertipu dan sebagainya.
Konsep ekonomi dalam Islam ditegakkan dengan kepastian
hukum atas seluruh pelanggaran dalam penerapannya. Setiap kebathilan dan
kedzaliman yang terjadi harus diselesaikan dengan menerapkan hukum yang pasti.
Karena ketiadaan kewibawaan proses hukum hanya akan mendorong terjadinya
kedzaliman dan kebathilan yang lain. Dengan keadilan ekonomi, setiap individu
akan mendapatkan haknya sesuai dengan kontribusi masing-masing kepada
masyarakat. Setiap individu harus terbebaskan dari eksploitasi individu
lainnya. Islam dengan tegas melarang seorang muslim merugikan orang lain dengan
prinsip "Tidak memadharatkan dan tidak dimadharatkan"
"Dan janganlah kalian
merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kalian merajalela di muka bumi
dengan membuat kerusakan." (QS. Asy
Syuara : 183).
Konsep
ekonomi Islam mengharuskan setiap orang mendapatkan haknya dan tidak mengambil
hak atau bagian orang lain. Rasulullah SAW mengingatkan:
"Wahai manusia, takutlah akan
kezhaliman (ketidakadilan), sebab sesungguhnya dia akan menjadi kegelapan pada
hari pembalasan nanti. "
(H.R. Imam Ahmad, nomor 5404, dalam Musnad Al-Mukatstsirin min Shahabah).
Peringatan akan ketidakadilan dan eksploitasi ini
dimaksudkan untuk melindungi hak-hak individu dalam masyarakat, juga untuk
meningkatkan kesejahteraan umum sebagai tujuan utama Islam.
Keadilan antara Muslim dan non Muslim
Sistem pengaturan
Islam untuk memenuhi kebutuhan ini diterapkan atas seluruh masyarakat, baik
muslim maupun kafir dzimmi dimana mereka adalah orang-orang non muslim (kafir)
yang memiliki identitas kewarganegaraan Islam dan tunduk kepada peraturan dan
kekuasaan negara Islam, berdasarkan sabda Rasulullah SAW :
"Mereka mendapat hak apa
yang menjadi hak kita, dan mereka mendapatkan (terkena) kewajiban sama halnya
seperti kita mendapatkon (terkena) kewajiban."
"Sesungguhnya telah kami
berikan apa yang telah kami tentukan, agar darah (derajat) kita setaraf dengan
darah (derajat) mereka, serta harta kita setaraf dengan harta mereka".
Orang-orang kafir dzimmi telah merasakan bagaimana
pengaturan dan jaminan Islam terhadap pemenuhan kebutuhan pokok di dibawah
naungan Daulah Islamiyah. Diceritakan dalam "Kitab Al Kharaj"
karangan Imam Abu Yusuf, bahwa Amirul Mu'miniin, Umar lbnu Al Khaththab,
melihat seorang Yahudi tua di suatu pintu. Beliau bertanya apakah ada yang aku
bantu? Orang Yahudi itu menjawab bahwa ia sedang dalam keadaan susah dan
membutuhkan makanan, sementara ia harus membayar jizyah. "Usiaku sudah
lanjut", katanya. "Kalau begitu keadaanmu, alangkah tidak
adilnya perlakuan kami. Karena kami mengambil sesuatu darimu di saat mudamu dan
kami biarkan kamu di saat tuamu". Setelah berkata demikian. Khalifah
Umar lalu membebaskan pembayaran jizyah Yahudi tersebut, dan memerintahkan Baitui
Maal menanggung beban nafkahnya beserta seluruh orang yang menjadi
tanggungannya.
Di masa Khalid bin Walid, terhadap penduduk al Hairah,
yang beragama Nasrani dan merupakan ahlu dzimmah, diterapkan suatu
kebijaksanaan, bahwa jika ada orang tua yang lemah, tidak mampu bekerja,
tertimpa kemalangan, atau ia jatuh miskin, hingga kaumnya memberikan sedekah
padanya, maka ia dibebaskan dari
tanggungan jizyah dan ia menjadi tanggungan Baitul Maal kaum muslimin, selama ia
tinggal di daarul hijrah atau daarul Islam.
PEMERATAAN KESEMPATAN
Islam mengakui adanya ketidaksamaan ekonomi di antara
masing-masing individu dalam masyarakat. Namun, Islam tidak membiarkannya
menjadi bertambah luas, ia mencoba menjadikan perbedaan tersebut dalam
batas-batas yang wajar, adil dan tidak berlebihan. Pemerataan kesempatan
berbeda dengan kesamaan ekonomi (sama rata sama rasa) sebagaimana yang dianut
oleh sosialisme. Konsep Islam tetap memperkenankan perbedaan dalam perolehan
kekayaan sepanjang tetap tidak menghalangi kesempatan orang lain secara bathil.
Dengan langkah-langkah yang nyata, konsep Islam akan
menjaga agar kekayaan tidak hanya dinikmati oleh sekelompok tertentu masyarakat
saja sedangkan individu lain terhalang kesempatannya untuk meraih kekayaan. Setiap individu dalam sebuah negara Islam harus
mempunyai peluang yang sama untuk berusaha mendapatkan pekerjaan atau
menjalankan berbagai aktivitas ekonomi. Dengan demikian kesenjangan tidak akan
semakin lebar. Untuk menjamin tetap terciptanya berbagai kesempatan berusaha di
tengah masyarakat, maka konsep Islam menerapkan berbagai mekanisme antara lain:
Pertama: Menghapuskan monopoli yang menghalangi kesempatan orang lain
bekerja, kecuali oleh pemerintah untuk bidang-bidang tertentu.
Kedua: Islam membenarkan seseorang memiliki kekayaan
lebih dan yang lain sepanjang kekayaan tersebut diperoleh secara benar.
Ketiga: Islam melarang riba (bunga)
dan mendorong prinsip kerjasama (syirkah) dalam berusaha
Keempat: Islam melarang seseorang
menimbun kekayaan (emas dan perak) sehingga mengurangi beredarnya kekayaan
sebagai modal di tengah masyarakat
Kelima: Islam melarang memiliki
tanah yang tidak diolah dan dimanfaatkan untuk pertanian lebih dari tiga tahun.
Keenam: Islam melarang dijalankannya
usaha yang spekulatif seperti perjudian, bursa saham karena kontra produktif
Ketujuh: Negara menyediakan
terpenuhinya lapangan pekerjaan di tengah-tengah masyarakat
Kedelapan: Kepemilikan umum adalah
untuk semua masyarakat sehingga tidak diperkenankan melakukan privastisasi atas
kepemilikan umum.
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Islam
memandang kebutuhan pokok manusia seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan
pendidikan mutlak dipenuhi. Islam telah mengatur jaminan atas pemenuhan semua
kebutuhan tersebut, termasuk pula kebutuhan mendesak, seperti pernikahan, dan
alat-alat transportasi yang berfungsi memenuhi kebutuhan di lokasi yang jauh.
Dalam rangka pemenuhan ini, Islam telah menggariskan beberapa mekanisme yaitu:
(1) Setiap
Individu berkewajiban memenuhi kebutuhannya sendiri melalui mekanisme bekerja.
Secara individu Islam
mewajibkan setiap individu untuk bekerja. Allah SWT berfirman :
"Dialah Yang
menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan
makanlah sebagian dari rezeki-Nya” (QS
Al Mulk : 15).
Rasulullah SAW telah bersabda
:
"Tidaklah seorang di
antara kamu, makan suatu makanan, lebih baik daripada memakan dari hasil
keringatnya sendiri" (HR Baihaqi).
"Sesungguhnya ada
sebagian dosa yang tidak bisa terhapus oleh Shaum atau Sholat” Ditanyakan
pada beliau: 'Apakah yang dapat menghapuskannya, yaa Rasulullah?' Jawab
Rasul SAW: 'Bekerja mencari nafkah penghidupan'" (HR
Abu Nu'aim, dalam Al-Hilyah).
Bahkan Rasulullah SAW pernah
"mencium" tangan Sa'ad bin Mu'adz ra, tatkala beliau melihat
bekas-bekas kerja pada tangan Mu'adz. Beliau katakan: "(Ini adalah) dua
tangan yang dicintai Allah Ta'ala"
Tujuan bekerja adalah untuk
mencari karunia Allah SWT sehingga dapat menghasilkan harta untuk memenuhi
kebtuhan pokoknya tersebut.
" ........
Maka bertebaranlah kamu di muka
bumi, dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung" (QS Al-Jumu’ah : 10).
"Allah-lah yang
menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan
seizin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan
mudah-mudahan kamu bersyukur" (QS
Al-Jatsiyah 12).
Nash-nash tersebut menegaskan
bahwa hukum asal pemenuhan kebutuhan pokok dan kesejahteraan hidup manusia
menjadi tugas masing-masing individu melalui mekanisme bekerja.
(2) Dalam kondisi
individu sangup bekerja namun tidak memiliki kesempatan bekerja maka negara
berkewajiban menyediakan lapangan pekerjaan.
Jika seseorang tidak
mendapatkan pekerjaan, padahal ia mampu untuk itu, maka negara wajib
menyediakannya. Sebab hal itu memang menjadi tanggungjawab negara. Rasulullah
SAW bersabda:
"Seorang Imam adalah
pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan ia akan diminta pertanggungjawban
terhadap rakyatnya" (HR Bukhari dan Muslim).
Tersebut dalam sebuah hadits
bahwa Rasulullah SAW pernah memberi dua dirham kepada seorang, kemudian beliau
berkata kepadanya:
"Makanlah dengan satu
dirham dan sisanya belikanlah kapak, lalu gunakanlah ia untuk bekerja".
Juga, dalam hadits lain
disebutkan, bahwa ada seseorang yang mencari Rasulullah, dengan harapan
Rasulullah SAW akan memperhatikan masalah yang dihadapinya. la adalah seorang
yang tidak mempunyai sarana untuk bekerja agar mendapatkan suatu hasil sehingga
tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Kemudian, Rasulullah SAW memanggilnya.
Beliau menggenggam sebuah kapak dan sepotong kayu, yang diambil sendiri oleh
beliau. Kemudian, beliau serahkan kepada orang tersebut. Beliau perintahkan
kepadanya agar ia pergi ke suatu tempat yang telah beliau tentukan, agar ia
bekerja di sana, dan nanti kembali lagi memberi kabar tentang keadaannya.
Setelah beberapa waktu, orang itu mendatangi Rasulullah SAW seraya mengucapkan
rasa terima kasih kepada beliau atas bantuannya. Ia lalu menceritakan tentang
kemudahan yang kini ia dapati. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari).
Hal yang sama dicontohkan pula
oleh Umar ra. Suatu ketika, Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab, memasuki
masjid di luar waktu shalat lima waktu. Didapatinya ada dua orang yang sedang
berdo'a kepada Allah SWT. Umar ra. lalu bertanya: "Apa yang sedang
kalian kerjakan, sedangkon orang-orang di sana kini sedang sibuk bekerja?"
Mereka menjawab: "Ya Amirul Mu'minin, sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang bertawakal kepada Allah SWT".
(Mendengar jawaban tersebut),
maka marahlah Umar Ra, seraya berkata: "Kalian adalah orang-orang yang
malas bekerja, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan
emas dan perak". Kemudian Umar ra, mengusir mereka dari masjid, tetapi
memberi mereka setakar biji-bijian. Beliau katakan pada mereka : "Tanamlah
dan bertawakallah kepada Allah".
Dari perisitiwa ini, Imam
Al-Ghazali, rahimahullah, menyatakan bahwa wajib atas Waliyyul Amri (pemerintah) memberi sarana-sarana pekerjaan kepada
para pencari kerja. Menciptakan lapangan kerja adalah kewajiban negara dan
merupakan bagian dari tanggung jawabnya terhadap pemeliharaan dan pengaturan
urusan rakyat. ltulah kewajiban yang telah ditetapkan secara Syar'iy, dan telah
diterapkan oleh para pemimpin Daulah Islamiyah, terutama di masa-masa kejayaan
dan kecemerlangan penerapan Islam dalam kehidupan.
(3) Dalam kondisi
individu tidak sanggup bekerja, kerabat dan muhrimnya berkewajiban memenuhi
kebutuhan pokoknya.
Jika seorang individu tidak
mampu bekerja, dan tidak mmpu mencukupi nafkah diri dan nafkah anggota keluarga
yang menjadi tanggungjawabnya, maka kewajiban nafkah itu dibebankan kepada para
kerabat dan muhrimnya, sebagaimana firman Allah SWT:
"Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf. Seorang
tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
waris pun berkewajiban demikian ..." (QS. Al-Baqarah : 233).
Ayat AI-Qur'an itu menjelaskan
kewajiban ahli waris. Seorang anak, wajib memberikan nafkah kepada orang tuanya
(yang tidak mampu) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Maksud "al
waarits" pada ayat tersebut, bukanlah orang yang mendapat warisan semata,
tetapi semua orang berhak mendapat warisan dalam semua keadaan. Rasulullah SAW
telah bersabda:
"Kamu
dan hartamu adalah untuk (keluarga dan) bapakmu" (HR Jbnu Majah).
Jika ada yang mengabaikan
kewa)'iban nafkah kepada orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya, sedang ia
berkemampuan untuk itu, maka negara berhak memaksanya untuk memberikan nafkah
yang menjadi kewaiibannya. Hukum-hukum tentang nafkah ini telah banyak diulas
panjang lebar dalam kitab-kitab Syariat Islam.
(4) Dalam kondisi
tidak ada kerabat dan muhrim yang mampu memenuhi kebutuhan pokok seorang
individu, maka negara berkewajiban mencukupinya melalui kas zakat di baitul
mal.
Jika seseorang tidak mampu
memberi nafkah terhadap orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya, baik
terhadap sanak kerabat atau muhrimnya, dan ia pun tak memiliki sanak kerabat
atau muhrim, yang dapat menanggung kebutuhannya, maka kewajiban pemberian
nafkah itu beralih ke negara yaitu baitul Maal.
Wajib atas baitul Maal untuk
memenuhi seluruh kebutuhan pokoknya. Sebab, Baitul Maal berfungsi menjadi
penanggung (menyantuni) orang-orang yang lemah dan butuh, sedangkan pemerintah
adalah pemelihara dan pengatur usaha rakyatnya, dalam hal ini, kepala negara
akan diminta pertanggung-jawaban terhadap tanggungannya. Infak baitul maal
tersebut berasal dari harta zakat yang merupakan kewajiban Syar'iy, dan diambil
oleh negara dari orang-orang kaya, sebagaimana firman Allah SWT:
Ambillah zakat dari sebagian
harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka
...." (QS At-Taubah 103).
Juga Firman-Nya:
"Sesungguhnya zakat-zakat
itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para pekerja zakat,
para muallaf yang diikat hatinya, ..." (QS At-Taubah 60).
Al 'Aamilun
adalah pekerja-pekerja yang ditugaskan oleh negara untuk menarik zakat. Negara
kemudian mendistribusikan kepada delapan golongan yang jelas-jelas tersebut
dalam Al-Qur'an. Di antara mereka ada al fuqaraa dan al masaakiin,
sebagaimana dalam ayat 60 surat At-Taubah tersebut. Mereka adalah orang-orang
yang berada dalam kekurangan. Dalam hal ini, negara berkewajiban menutupi
kekurangan itu dari harta benda baitui maal (di luar harta zakat) jika harta
benda dari zakat tidak mencukupi. Rasulullah SAW bersabda :
"Tidak ada seorang
Muslim pun, kecuali ia bertanggung jawab padanya di dunia dan akhirat"
(At Hadits). Lalu Rasulullah SAW membacakan Firman Allah SWT : "Para
nabi itu menjadi penanggung jawab atas diri orang-orang mukmin". “Oleh
karena itu, jika seorang mu'min mati dan meninggalkan harta warisan, silahkan
orang-orang yang berhak mendapat waris, mengambilnya. Tetapi jika ia mati dan
meninggalkan hutang atau orang-orang yang akan terlantar, maka hendaklah
rnereka datang kepadaku, sebab aku adalah penanggang jawabnya" (Diriwayatkan oleh pemilik Kitab Shahih yang
Enam).
Juga dengan memperhatikan
sabda Rasulullah SAW :
"Siapa yang (mati)
meninggalkan harta, maka silakan ahli warisnya mewarisinya, tetapi siapa yang
mati rneninggalkan orang-orang yang terlantar, maka kembalilah kepadaku dan aku
adalah penanggung jawabnya".
Bukan lagi sesuatu yang
mengherankan, bahkan selain bertindak sebagai utusan Allah, beliau SAW pun
adalah seorang kepala negara dalam sistem kehidupannya, melaksanakan al uqubaat
(sanksi-sanksi), menegakkan hukum, mengadakan perjanjian-perjanjian dengan
negara-negara tetangga Daulah Islamiyah, menyatakan perang terhadap musuh-musuh
Islam, dan menghadapi segala macam intrik yang dilancarkan setiap kepala negara
musuh.
Tatkala beliau menyatakan:
"Siapa saja yang mati meninggalkan hutang atau ahli waris yang lemah,
maka datanglah mereka padaku sebab aku adalah penanggung jawabnya".
Artinya, siapapun yang meninggalkan hutang, berarti ia termasuk kelompok
gharimiin. Baitui Maal yang akan menanggung hutangnya. Atau jika dia
meninggalkan ahli waris yang lemah, misalnya anak-anak yang tidak mampu
memenuhi kebutuhannya, maka datanglah kepada Rasulullah SAW, yang berkedudukan
sebagai kepala negara dan pemelihara urusan umat, sebab negara bertindak sebagai
pemelihara urusan mereka. Seolah-olah Rasul SAW berkata: "Maka wajib atasku dan aku adalah penanggungjawabnya (rakyat) dengan mengingat kedudukanku sebagai kepala negara agar aku memenuhi semua kebutuhan pokok, berupa
pangan, sandang, dan papan telah dijamin oleh negara, jika ia tidak mampu memenuhinya sendiri".
(5) Dalam kondisi
kas zakat di baitul maal tidak mampu memenuhinya, maka negara akan memenuhinya
dengan mengambil kas lain.
(6) Dalam kondisi
kas negara (baitul mal) habis maka semua kaum muslimin berkewajiban
mencukupinya.
Jika baitul mal, yang
merupakan kas perbendaharaan negara dalam keadaan krisis, sehingga tidak mampu
memenuhi kebutuhan rakyat, maka kewajiban itu beralih kepada seluruh kaum
muslimin.
"Dan pada harta-harta
mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak
mendapat bagian." (QS Adz-Dzariyaat : 19).
Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya pada harta
benda itu ada hak (untuk diambil) di luar zakat." (HR
Turmadzi).
Juga sabdanya:
"Sesungguhnya Allah telah
menetapkan kewajiban terhadap orang-orang muslim yang berkecukupan atas harta
mereka, tergantung banyaknya orang-orang fakir yang ada di sekitar mereka.
Tidaklah orang-orang fakir itu akan terpayah-payah dan sengsara hidupnya,
tatkala mereka lapar dan telanjang, kecuali karena ulah orang-orang kaya itu
juga. Jika mereka (orang-orang kaya itu) tidak memperhatikan urusan mereka,
maka Allah akan menghisab mereka dengan hisab yang berat, dan menyiksa mereka
dengan siksaan yang pedih." (Al Hadits).
Sementara itu, negara
berkewajiban mengumpulkan harta benda dari kaum muslimin, mengambil harta benda
berlebih dari orang-orang kaya - sebagai kelebihan atas pemenuhan kebutuhan
mereka, sebanyak keperluan orang-orang yang memerlukan pemenuhan kebutuhan dan
mengatur urusan mereka. Sebab, memang negara memiliki wewenang, secara syar'iy,
untuk melakukan itu. Allah SWT berfirman :
"Dan mereka bertanya
kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, yang lebih dari
keperluan." (QS Al-Baqarah :
219).
".... supaya harta itu jangan hanya beredar
diantara orang-orang kaya saja di antara kamu ...." (QS Al-Hasyr : 7).
Artinya, tidak boleh harta
benda hanya berputar di kalangan sekelompok orang, dengan menutup kesempatan
orang lain untuk mendapatkannya. Rasulullah SAW telah mengambil sebagian harta
inilik orang-orang kaya Bani Nadhir dan membagi-bagikannya kepada sahabat
Muhajirin yang fakir, berdasarkan firman Allah : "bagi orang-orang
fakir dari kaum muhajirin"
Beliau tidak membagikannya
kepada kaum Anshar, padahal mereka adalah penduduk Madinah, kecuali terhadap
dua orang Anshar, yaitu Abu Dujunah (Samak bin Khasyah) dan Sahal bin Hanif.
Padahal, sebenarnya kaum Anshar adalah orang-orang yang juga berhak mendapat
bagian. Semua itu dilaksanakan oleh Rasulullah SAW sebagai realisasi pengamalan
perintah Allah dalam dua ayat terdahulu (ayat 219 surat Al-Baqarah dan ayat 7 surat
Al-Hasyr).
Sayidina Umar ra. pernah
berkata :
"Seandainya dari dulu
saya punya pendapat seperti pendapat saya sekarang, pasti telah aku ambil
kelebihan harta benda orang-orang kaya dan aku bagikan (kembalikan) kepada
orang-orang fakir."
Pengambilan kelebihan harta
orang-orang kaya dari kaum muslimin untuk menutupi kebutuhan orang-orang miskin
tersebut, semata-mata dilakukan negara jika baitui maal tengah dilanda krisis.
Tetapi, jika krisis itu telah hilang, dan baitui maal dalam keadaan
berkecukupan, maka pengambilan itu harus dihentikan. ltulah hukum-hukum
Syari'at Islam, yang memberikan alternatif cara pemenuhan kebutuhan hidup dan
mewujudkan kesejahteraan bagi tiap individu masyarakat, dengan cara yang agung
dan mulia. Hal itu akan mencegah individu-individu masyarakat yang sedang
dililit kebutuhan untuk berusaha memenuhi kebutuhan mereka dengan menghinakan
diri (meminta-minta).
Adapun kebutuhan pokok yang
harus dipenuhi tersebut adalah:
(1) Pangan dan
Sandang
Pangan dan sandang adalah
kebutuhan pokok manusia yang harus terpenuhi. Tidak seorangpun yang dapat
melepaskan diri dari dua kebutuhan itu. Oleh karena itu, Islam menjadikan dua
hal itu sebagai nafkah pokok yang harus diberikan kepada orang-orang yang men)adi
tanggungJawabnya. Allah SWT berfirman :
"Dan kewajibon ayah
adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara baik..." (QS Al-Baqarah 233).
(2) Papan
Demikian halnya dengan papan
atau perumahan. la termasuk ke dalam kategori kebutuhan pokok, sebagaimana
pangan dan sandang, yang wajib dipenuhi oleh negara. Allah SWT berfirman:
"Tempatkanlah mereka
(para isteri) di tempot kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu..."
(QS At-Thalaq 6).
(3) Kesehatan dan
Pendidikan
Kesehatan dan pendidikan,
adalah dua hal yang merupakan kebutuhan asasi dan harus dikecap oleh manusia
dalam hidupnya. Keduanya termasuk masalah''pelayanan umum" (ri'ayatu asy syu-uun) dan
kemaslahatan hidup terpenting. Dalam hal ini, negara (pemerintah) lah yang
berkewajiban mewujudkan pemenuhannya terhadap seluruh rakyat. Islam telah
menentukan bahwa yang bertanggung jawab menjamin dua jenis kebutuhan dasar
tersebut adalah negara. Negaralah yang harus mewujudkannya, agar dapat
dinikmati seluruh rakyat, baik muslim maupun non muslim. Baik kaya atau miskin.
Sedangkan seluruh biaya yang diperlukan, ditanggung oleh Baitui Maal.
Muqauqis, Raja Mesir, pernah
memugaskan (menghadiahkan) seorang dokter (ahli pengobatan) nya untuk
Rasulullah SAW. Oleh Rasulullah SAW, dokter tersebut dijadikan sebagai dokter
kaum muslimin dan untuk seluruh rakyat, dengan tugas mengobati setiap anggota
masyarakat yang sakit.
Tindakan Rasulullah SAW itu, dengan
menjadikan dokter tersebut sebagai dokter kaum muslimin, menunjukkan bahwa hadiah
tersebut bukanlah untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, hadiah semacam
itu bukanlah khusus diperuntukkan bagi beliau, tetapi untuk kaum Muslimin, atau
untuk negara.
Demikian pula terhadap
pendidikan. Negara akan menyediakan berbagai sarana pendidikan termasuk
pengajar yang dibutuhkan. Rasulullah pernah memberikan syarat tebusan bagi
tawanan perang untuk memberikan pengajaran kepada kaum muslimin yang buta
huruf. Padahal, pada umumnya tebusan adalah berupa harta yang akan dimasukkan
ke dalam kas baitul mal. Dalam kasus yang lain, Khalifah Umar bin Abdul Aziz
juga pernah memberikan gaji guru taman kanak-kanak sebesar 15 dinar perbulan.
Gaji itu pun diambilnya dari kas baitul mal. Hal ini semua menjadi dalil bahwa
negara berkewajiban menyediakan pendidikan dengan biaya berasal dari batul mal.
(4) Pernikahan
dan alat-alat transportasi sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan yang jauh.
Sangatlah wajar jika Khalifah,
atau orang-orang yang menduduki kekuasaan, seperti para wali, tidak memungut
biaya sedikitpun dalam melaksanakan hukum-hukum Islam. Sebab, menjalankan
hukum-hukum Islam adalah tindakan ibadah. Tidak layak hal itu dipungut biaya.
Justru biaya itu harus diambil dari baitul maal, sebagaimana yang telah
dilakukan oleh Abu Bakar, Umar radliallahu 'alaihimaa, dan khalifah-khalifah
sesudahnya. Rasulullah SAW telah menentukan kebutuhan-kebutuhan itu dengan
sabda beliau:
"Siapa saja yang mau
bekerja untuk kami, maka ia berhak mendapatkan istri, dan siapa saja yang tidak
memiliki tempat tinggal, maka ia berhak mendapat tempat tinggal (rumah)".
Juga sabda beliau yang lainnya
:
"Siapa saja yang
mengerjakan sesuatu untuk kami dan ia tidak memiliki tempat tinggal, maka ia
berhak mendapat tempat tinggal; atau ia tidak punya istri, hendaklah ia
menikah, atau ia tidak memiliki kendaraan, maka ia berhak mendapat
kendaraan."
Demikianlah, negara harus berbuat sebesar-besarnya,
sebatas kemampuannya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Islam, yang bertujuan
untuk mewujudkan kemaslahatan dan memungkinkan dinikmati oleh setiap individu
yang tidak mampu meraih kemaslahatan itu. Tindakan Kepala Negara (Khalifah)
yang demikian, tidak lain adalah sebagai tindak kepatuhan terhadap firman Allah
SWT:
"Dan sesungguhnya telah
Kami muliakan anak cucu Adam, dan Kami angkat mereka di daratan dan di lautan,
Kami beri rezeki mereka dari hal yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakon" (QS
Al-Isra': 70).
Juga firmanNya:
"Dan di antara
tanda-tanda kekuasanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya ..." (QS Ar-Ruum : 21).
Anak cucu Adam itu tidak mungkin terjaga atau terpelihara
kemuliaannya kecuali dengan melekatnya pakaian di badan, menetapnya ia di suatu
tempat tinggal, dapatnya mengecap makanan yang cukup, terpenuhinya sarana
transportasi untuk melakukan perjalanan, dan tersalurnya naluri kecenderungan
biologis (gharizah jinsiyah)nya, dengan melaksanakan pernikahan. Sistem aturan
Islam telah menunjukkan keunggulannya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan
individu yang berada dalam keadaan membutuhkan. Rasulullah SAW telah
memerintahkan kaum Anshar agar memberikan pertolongan kepada sahabat-sahabat
muhajirm yang fakir, tatkala mereka menjalani kehidupan bersama dan berserikat
dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup. Jadilah mereka bersaudara karena
Allah SWT, hingga mereka berhak mendapatkan anugerah rahmat Allah SWT dan
keridhaanNya. Karena itu Rasulullah SAW pernah mengawinkan seorang lelaki dan
memberinya segenggam kurma sebagai mahar untuk diberikan kepada istri-istrinya.
Dalam hal ini, Baitui Maal-lah yang berkewajiban menanggung semua itu, sekuat
kemampuan yang ada padanya, berdasarkan makna umum sabda Rasulullah SAW:
"Setiap imam adalah
pemelihara dan pengatur urusan rakyatriya, maka ia akan diminta
pertanggungjawaban terhadap tanggungannya itu".
Rasulullah SAW pernah menunaikan kewajiban (rutin) yaitu
menyantuni para janda dan orang-orang yang berkeinginan untuk menikah, dengan
satu bagian untuk seorang janda, dua bagian untuk yang mau menikah, demi
menutupi kebutuhan-kebutuhan mereka. Dalam periode Khalifah Umar bin Khathab
ra. beliau menerapkan jatah pembagian terhadap tiap-tiap anak sejak anak
manusia lahir ke bumi.
Dalam buku "Nahjul
Balaghah" diceritakan bahwa
Aqiil datang kepada Amirul Mukminiin, Ali bin Abi Thalib, dengan mengadukan
perihal dirinya yang kekurangan kebutuhan-kebutuhannya. Mendengar hal tersebut,
Amirul Mukminiin lalu memberinya bekal sebagai penutup kebutuhan Aqiil. Tatkala
Aqiil pulang ke rumahnya, ia berjumpa dengan seseorang yang menanyakan tentang
apa yang ia bawa. Uqail menjawab bahwa bawaannya itu adalah pemberian Amirul
mukminiin. Orang itu kemudian berkata :
"Jika kamu kembali,
wabai Aqiil, kepada beliau, yang merupakan saudaramu, pasti beliau akan
menambah pemberiannya lebih banyak dari apa yang telah diberikan. Agaknya itu
lebih baik bagimu".
Aqiil patuh dan benar-benar kembali kepada Amirul
mukminiin. Saat itu Khalifah Ali ra. sedang duduk di depan perapian yang di
dalamnya ada sepotong besi yang dilemparkan anak kecil sebagai mainan.
Berulang-ulang Aqiil mengajukan permintaan tambahan, sampailah ia pada batas
kesabarannya. Kemudian Khalifah Ali ra. mengangkat besi itu dan menyorongkannya
kepada Aqiil yang berteriak karena kaget. Lalu dengan marah Amirul Mukminiin
berkata:
"Wahai Aqiil, apabila
engkau menjerit kesakitan karena benda yang dilemparkan seorang onak sebagai
mainannya, maka permintaanmu itu akan menyeret aku ke dalam api neraka yang
telah dinyalakan oleh Yang Maha Perkasa, karena kemurkaanNya. Jika kamu
menjerit kesakitan hanya karena api semacam ini, bagaimana aku tidak akan
menjerit kesakitan oleh api yang terpanas (jahanam)?"
Seorang kepala negara bertanggung jawab atas pemenuhan
kebutuhan rakyatnya, baik atas anggota keluarganya atau anggota masyarakat yang
lain. la harus selalu ingat dan memperhatikan sabda Rasulullah SAW:
"Sungguh, Allah SWT akan
meminta pertanggungjawaban setiap pemimpin terhadap apa yang dipimpinnya,
apakah ia menjaga atau bahkan menyia-nyiakannya".
Sebagai jaminan akan adanya peraturan urusan pemenuhan
kebutuhan tersebut, dan merupakan realisasi tuntutan Syari'at Islam, maka dalam
tindakan yang konkrit, Umar bin Kathab telah membangun suatu rumah yang diberi
nama "daar ad daqiiq” (rumah
tepung). Di sana tesedia berbagai jenis tepung, kUrma, dan barang-barang
kebutuhan lainnya, yang tujuannya untuk menolong orang-orang yang singgah dalam
perjalanan dan memenuhi kebutuhan orang-orang yang membutuhkan, sampai ia
terlepas dari kebutuhan itu. Rumah itu dibangun di jalan antara Makkah dan
Syam, di tempat yang strategis dan mudah dicari (dicapai) oleh para penyinggah
jalan (musafir). Rumah yang sama, juga dibangun di jalan antara Syam dan Hijaz.
PERTUMBUHAN RIIL
Sistem
ekonomi Islam mendorong kaum muslimin untuk berusaha secara profesional.
Tujuannya adalah untuk memberikan kesejahteraan bagi masing-masing individu.
Secara komunal, sistem ekonomi Islam bertujuan untuk menumbuhkan taraf
perekonomian secara riil. Beberapa mekanisme yang diberikan oleh Islam antara
lain:
(1)
Larangan menimbun kekayaan
Sistem
ekonomi Islam melarang individu mengumpulkan dan menimbun harta kekayaan di
luar kebutuhan hidupnya. Islam dalam satu segi memperbolehkan setiap individu
untuk memiliki harta dengan batas yang tidak ditentukan dan juga memperbolehkan
individu untuk memiliki simpanan (tabungan) untuk berjaga-jaga atau memenuhi
kebutuhan masa datang.
Namun,
di lain segi Islam melarang individu menimbun harta benda (terutama emas dan perak)
tanpa satu keperluan pun. Penimbunan harta menyebabkan pertumbuhan ekonomi
menjadi terhambat serta akan menghalangi individu lain untuk memanfaatkan harta
tersebut.
Oleh
karena itu, Islam mendorong individu yang memiliki kekayaan yang melebihi kebutuhan
hidupnya untuk tetap mengembangkan kekayaannya tersebut. Apabila secara
individu ia tidak mampu melakukannya, ia dapat bekerjasama dengan pihak lain.
Selain harta tersebut dapat dikembangkan, juga akan memberikan lapangan
pekerjaan bagi pihak lain yang tidak memiliki modal atau kesempatan. Dalam hal
ini, pihak lain dapat berlaku sebagai ajiir (pekerja) ataupun sebagai mudlarib
dalam syirkah mudlarabah.
(2)
Larangan menelantarkan tanah pertanian lebih dari tiga tahun.
Islam
menetapkan bahwa pemilikan tanah pertanian haruslah untuk dimanfaatkan.
Membiarkannnya terlantar akan menyebabkan produktivitas pertanian menjadi
turun. Oleh karena itu, dengan tegas Islam menetapkan bahwa kepemilikan tanah
akan menjadi hilang manakala tanah pertanian tersebut ditinggalkan atau
dibiarkan terlantar lebih dari masa tiga tahun. Negara wajib mengambil hak
kepemilikan atas tanah tersebut dan dapat memberikannya kepada pihak lain yang
mampu mengelolanya. Kesemuanya ini ditujukan untuk menghindari keberadaan tanah
yang tidak produktif.
(3)
Larangan menggunakan harta untuk sektor non riil.
Dalam
sistem ekonomi kapitalis, perputaran uang dan harta lainnya dibebaskan bagi
setiap individu masyarakat. Akibatnya, aktivitas-aktivitas non riil (seperti
bursa valuta asing dan bursa saham) yang berkembang dengan pesat. Mereka
memandang bahwa aktivitas ini sangatlah menguntungkan tanpa mempertimbangkan
efek buruk pada pertumbuhan ekonomi.
Dalam
hal ini Islam hanya mendorong individu dalam masyarakat untuk berusaha dalam
sektor riil yang dihalalkan oleh Allah SWT dan meninggalkan sektor non riil
yang diharmkan oleh Allah SWT.
MASHLAHAT
Keterikatan terhadap hukum syara akan mendatangkan
rahmat (kebaikan). Kedamaian, ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan dunia
akhirat pasti akan didapatkan. Inilah mashlahat hakiki yang dijanjikan Allah.
“Jika
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya” (QS. Al A’raf : 96).
Sebaliknya, sikap menentang hukum syara hanya akan
mendatangkan laknat berupa kekacauan, kerusakan, kegelisahan, dan kerugian
dunia, seperti yang terlihat sekarang. Belum lagi laknat di akhirat yang pasti akan dialami.
“Dan
barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam
keadaan buta. Berkatalah ia: Ya, Rabbku,
mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya
adalah seorang yang melihat ? Allah pun
berfirman : Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu
melupakannya, dan begitu pula pada hari ini kamu pun dilupakan. Dan demikianlah Kami membalas orang yang
melampauai batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Rabbnya. Dan sesungguhnya adzab di akhirat lebih berat
dan lebih kekal.”
Betapa keras dan tegas konsekuensi yang akan
diperoleh mereka yang menentang hukum Allah seperti tercantum di dalam surat Thaha [20] ayat 124 sampai 127
tersebut.
Sekiranya dengan penerapan aturan
selain Islam didapatkan juga keuntungan, tapi keuntungan atau kebaikan itu
sesungguhnya hanyalah merupakan kemashlahatan I’tibari (semu). Karena,
di balik bermacam keuntungan yang didapatnya itu tersimpan sejumlah kerugian
dan potensi kerusakan yang jauh lebih besar yang pada akhirnya akan menyengsarakan
kehidupan masyarakat. Kenyataan masyarakat sekarang membuktikan hal itu. Di
balik keuntungan cukai dan terserapnya tenaga kerja dari industri minuman
keras, tersembul sejumlah bahaya. Kerusakan fisik, meningkatnya kriminalitas
adalah beberapa diantaranya. Demikian juga dibalik berkembangnya industri
hiburan yang banyak mengeksploitasi kecantikan dan keindahan tubuh wanita serta
seks bebas, penyakit AIDS mengancam. Demikian seterusnya, bahwa pengingkaran
terhadap aturan Islam pasti akan menimbulkan kerusakan (fasad), sementara
ketaatan akan mendatangkan rahmat.
Klik aku di sini:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar