SELAMAT DATANG DI SOLUSI CENTER

KAMI SIAP MEMBANTU ANDA

Selasa, 13 Maret 2012

PENDIDIKAN "PERLU" GRATIS

PENDIDIKAN “PERLU” GRATIS

Pendidikan dasar merupakan sarana untuk membangun landasan intelektual anak bangsa. Dengan didukung oleh UUD 1945 pasal 32 ayat 2 menyebutkan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Aturan tersebut memberikan gambaran bahwa penyelengaraan pendidikan dasar merupakan kewajiban pemerintah sekaligus hak masyarakat. Pendidikan dasar gratis secara teoritis bisa dilaksanakan, terlebih hal tersebut sudah menjadi amanat konstitusi yang harus diwujudkan. Kemampuan daerah dalam menyelenggarakan pendidikan dasar gratis tidak sama. Sumber biaya pendidikan yang terbesar bukan lagi dari APBN, melainkan dari APBD kabupaten/kota. Sudah seharusnya pemerintah daerah menyediakan anggaran yang cukup memadai untuk mendukung terwujudnya pendidikan dasar gratis. Beberapa kabupaten/kota di Indonesia berhasil mewujudkan pendidikan dasar gratis tanpa menunggu turunnya dana dari pusat. Peluang setiap daerah untuk dapat melaksanakan pendidikan dasar secara gratis sejatinya sama. Akan tetapi jelas bahwa mewujudkan pendidikan gratis tidaklah semudah yang dibayangkan. Ketipdak supksesan penyelenggaraan pendidikan dasar hanya akan memperparah pondasi intelektual bangsa, dan pada gilirannya akan menurunkan daya saing bangsa di tingkat global. Dengan mempertimbangkan implikasinya pada kualitas sumber daya manusia di masa datang, tidak ada alasan bagi kita intuk menunda-nunda pelaksanaan pendidikan dasar gratis.
Rencana pemerintah untuk menggratiskan biaya sekolah, patut disambut dengan gembira. Dan, mungkin inilah yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat pada umumnya di seluruh penjuru nusantara. Lagipula, planning untuk mengalokasikan subsidi BBM ke sektor pendidikan itu, tampaknya telah sepakati oleh beberapa fraksi di dewan perwakilan rakyat. Kabar tersebut seperti diberikatakan oleh bebarapa media elektronik dan cetak nasional beberapa waktu yang lalu.
Namun pertanyaan yang mengganjal di hati saya adalah, mampukah mutu pendidikan menjadi lebih meningkat hanya dengan membebaskan biaya pendidikan formal? Secara sederhana dapat dikatakan bahwa setidaknya upaya itu ditempuh untuk mencegah bertambahnya para anak muda yang drop out, putus sekolah dan tidak dapat melanjutkan sekolah yang lebih tinggi lagi.
Akan tetapi, di sisi lain, anak usia sekolah yang mogok belajar bisa jadi disebabkan karena kurang perhatian dan dukungan dari orang tua dan masyarakat sekitar. Sehingga anak tidak mempunyai motivasi dan cita-cita yang mantap. Juga masih maraknya anggapan kuno dari masyarakat yang menyatakan bahwa buat apa bersekolah tinggi-tinggi, kalau pada akhirnya pekerjaan yang cocok sulit diperoleh alias menjadi penggangguran setelah lulus sekolah.
Selain itu, pemerintah kurang peka terhadap perkembangan di sekolah-sekolah. Karena jarangnya pemerintah --khususnya yang bergelut di bidang pendidikan-meluangkan waktunya untuk meninjau lokasi sekolah, maka pihaknya tidak tahu secara persis situasi dan kondisi lingkungan sekolah. Padahal ada hal-hal yang perlu diperbaharui di sana, misalnya saja, ada beberapa bangunan fisik sekolah yang sangat memprihatinkan, bahkan tak pantas disebut sebuah sekolah ini. Ditambah pula dengan minimnya tenaga pendidik, terutama di daerah pelosok yang sulit dijangkau plus alat-alat sekolah yang kurang memadai.
Perlu diketahui bahwa yang namanya pendidikan itu merupakan suatu usaha dilakukan oleh seseorang untuk dapat menggali potensi diri yang dimilikinya yang berupa intelektual, skill dan mengembangkan kepribadiannya. Dari itu, sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan diharapkan dapat membantu (bukan menciptakan) terwujudnya kompetensi-kompetensi yang ada pada diri siswa. Hal ini seperti yang dinyatakan Drost bahwa sekolah itu bertugas sebagai pembantu orang tua dalam hal pengajaran (bukan pendidikan). Maka, di sinilah peran guru sangat mutlak diperlukan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang sebenarnya.
Oleh karenanya, guru yang baik, tidak hanya menjadi pengajar yang handal saja. Lebih dari itu, ia juga mampu menjadi pendidik, pembina dan pelatih yang baik pula. Dengan begitu, interaksi yang harmonis antara guru dan siswa akan berjalan dengan semestinya. Jika sudah demikian, maka proses pengalihan ilmu pengetahuan dari guru kepada para siswanya dapat dilakukan tanpa menemui banyak kesulitan. Akan tetapi, untuk mewujudkan hal demikian itu, diperlukan bantuan orang tua siswa, masyarakat dan pemerintah yang kelak akan menciptakan sebuah sekolah unggul.
Untuk dikatakan sekolah unggul, Syaiful Sagala (2004) menyatakan bahwa sekolah harus mampu mengidentifikasikan keinginan dan membuat daftar kebutuhan melalui proses analisis kebutuhan, seperti para siswa menginginkan agar kegiatan belajar dapat memberikan ilmu pengetahuan dan ketrampilan secara mudah dan suasana belajar yang menyenangkan, guru menginginkan tersedianya fasilitas dan sarana belajar yang cukup, orang tua siswa menginginkan hasil belajar anaknya sesuai dengan biaya yang dikeluarkan orang tua dan pemerintah, dan masyarakat menginginkan agar hasil belajar mempunyai kemampuan dan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
Sekali lagi, agar proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan tertib, maka salah satu hal yang tidak boleh dilupakan ialah menyangkut biaya pendidikan untuk melengkapi piranti pendukung belajar di sekolah yang digunakan oleh guru dan siswa. Sebab, belajar tanpa disertai dengan media pendidikan dan pengajaran akan menjadi faktor penghambat dalam proses belajar-mengajar. Juga semangat belajar pun akan semakin turun sedikit demi sedikit.
Nah, untuk itulah, pemerintah sewajarnya bisa membantu dalam hal tersebut semaksimal mungkin. Karena itu, agar upaya pemerintah untuk membantu pendidikan gratis, (atau lebih tepatnya meringankan biaya pendidikan) ini tidak mubazir, sepatutnya perlu dipandang beberapa hal: yakni, pertama, disadari atau tidak, yang namanya pendidikan itu memang mahal, jika melihat konteks bahwa pendidikan (baca: mencari ilmu pengetahuan) itu wajib bagi setiap orang semasa hidupnya, tidak hanya dibatasi sembilan tahun saja. Karena itu, pihak terkait berusaha untuk menyalurkan dana pendidikan sedemekian rupa agar dengan tepat sasaran.
Kedua, subsidi pendidikan dialokasikan sebaiknya tidak hanya diperuntukkan terbatas pada siswa sekolah saja, melainkan juga untuk kesejahteraan guru (atau bahkan orang tua/wali siswa?). Jangan lupa, seorang guru pun bisa saja tidak mampu mencukupi kebutuhan pimer sehari-harinya. Ini juga untuk menghindari adanya 'kecemburuan sosial' terhadap anak didiknya. Jika persoalan ekomomis guru terbantukan, -untuk tidak dikatakan terpenuhi-maka setidak-tidaknya akan tumbuh semangat yang menyala untuk memotivasi siswa agar terus maju dan giat belajar dan bekerja.
Ketiga, siswa yang berprestasi -tanpa memandang tingkat status ekonomi-layak diberi award, penghargaan, misalnya berupa beasiswa melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri. Contoh semacam ini akan menjadi pemicu bagi siswa yang lain, utamanya dari golongan yang the haven't, kurang mampu, untuk bisa mengejar ketertinggalannya, dalam bidang akademik dan non akademik.
Keempat, perlu adanya jalur khusus bagi siswa yang memiliki bakat dan minat yang berbeda, umpamanya dengan cara memberikan sejumlah ketrampilan yang diminatinya. Ini untuk mencegah tekanan jiwa pada siswa yang hanya memiliki kemampuan intelejensi yang biasa-biasa atau pas-pasan saja, sehingga bisa menyalurkan skill yang tampak menonjol dalam dirinya dan bahkan potensi belum muncul sekalipun.
Kelima, pemerintah, secara formal atau nonformal, minimal sekali-kali meninjau, mengontrol, memonitoring kebijakan yang telah dilontarkannya itu dari jarak dekat. Kegiatan ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah subsidi itu sudah digunakan dengan semestinya atau tidak. Dengan demikian, peristiwa yang tidak diinginkan dapat mencemarkan citra pendidikan, dapat sedini mungkin dicegah.
Dua Kemungkinan
Seandainya pendidikan gratis itu benar-benar direalisasikan, diprediksikan ada dua kemungkinan yang akan muncul, yakni dampak positif dan negatif. Kemungkinan pertama, pendidikan yang diperoleh secara tanpa mengeluarkan biaya, semestinya malah menjadikan faktor untuk meningkatkan pendidikan yang berkualitas. Sebab, orang tua siswa tidak terlalu bersusah payah mengeluarkan sejumlah besar dana untuk membiayai anaknya di sekolah sehingga mereka bisa berkonsentrasi untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka sendiri.
Lalu, agar subsidi itu dimanfaatkan sesuai dengan rencana, maka subsidi seyogianya bukan berupa segepok uang yang diberikan langsung kepada siswa, tetapi alangkah baiknya disalurkan langsung ke sekolah, dan sisanya dalam bentuk buku-buku pelajaran atau bahan bacaan penjunjang. Dan, jika terpaksa subsidi harus dicairkan dalam bentuk sejumlah uang, seharusnya tetap dikontrol oleh pihak sekolah dan orang tua siswa mengenai penggunaan dana sumbangan pendidikan tersebut.
Selanjutnya, kemungkinan kedua, pendidikan gratis dari pemerintah itu bisa jadi membuat mutu pendidikan akan semakin menurun atau sama seperti sebelumnya. Pasalnya, mereka, para siswa dan orang tua yang minim tingkat ekonominya, berpikir bahwa mengenyam pendidikan sekolah itu ternyata gampang, sehingga dalam belajar pun siswa menjadi asal-asalan. Maka dari itu, perlu juga diberikan sanksi bagi siswa yang meremehkan, malas belajar hingga berkali-kali harus 'mandeg' di kelas. Demikian juga orang tua siswa perlu diberi pengertian dan peringatan agar selau membina dan mengarahkan serta mengontrol perkembangan prestasi belajar anaknya di rumah.
Mencermati kemungkinan-kemungkinan tersebut, agaknya program pendidikan gratis bagi kaum miskin kota dan desa, menurut hemat saya, perlu dikaji ulang sebelum dan sesudah launching ke masyarakat. Meskipun, diakui rencana itu baik dan dibutuhkan, namun hal penting yang harus dilakukan oleh berbagai pihak -kelurga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah-- ialah menyaksikan bagaimana praktik riilnya nanti lapangan, apakah berjalan di atas rel telah ditetapkan atau malah keluar dari jalur yang semestinya. Karena, jika pendidikan gratis hanya berorientasi utama agar anak itu bisa sekolah saja, dengan alat dan biaya secukupnya pun hal itu bisa diwujudkan.
Tetapi lebih dari itu, bagaimana pula agar siswa atau anak didik mampu mandiri -tidak terus-menerus menggantungkan bantuan-- dengan mengembangkan segala potensi yang dimilikinya, sehingga pasca tamat sekolah ia dapat melanjutkan ke perguruan tinggi, atau menyalurkan ketrampilannya di suatu instansi, atau mungkin menjadi wiraswasta dengan membuka usaha sendiri yang modalnya diberikan (bukan dipinjamkan) oleh pemerintah secara cuma-cuma. Pendeknya, dengan semua itu, diharapkan anak muda usia yang tidak dapat merampungkan sekolah dan tidak mampu melanjutkan studi serta belum memperoleh pekerjaan yang cocok, sedapat mungkin diminimalisir.
Dengan kata lain, sekolah berfungsi sebagai wadah untuk memperoleh segala ilmu pengetahuan dan membentuk sikap kepribadian yang unik dalam setiap anak jiwa anak didik yang sedang mengalami masa pertumbuhan. Dan, ini juga merupakan tanggung jawab sekolah untuk bekerja bersama para orang tua mengoptimalkan potensi siswa agar mendapat manfaat dari proses belajar di sekolah.
Kemudian dengan adanya potensi-potensi yang itulah, maka siswa diusahakan mampu menemukan solusi yang efektif atas masalah pribadi, dan kelompok atau komunitas baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat dengan memfungsikan sumber daya pengetahuan yang dikuasainya. Berkenaan dengan hal ini, tampaknya kata-kata dari Jerome S Arcaro patut direnungkan, bahwa "tujuan sekolah adalah untuk menemukan apa yang tidak berjalan dan memperbaikinya sebelum hal tersebut menjadi masalah yang bertambah besar". Ini berarti, sekolah diyakini sebagai problem solver, dan juga pencegah problem agar tidak menjelma menjadi problem lebih parah lagi.
Pro Kontra Pendidikan Gratis
            Impian masyarakat akan datangnya pendidikan gratis yang telah ditunggu-tunggu dari sejak zaman kemerdekaan Republik Indonesia telah muncul dengan seiring datangnya fenomena pendidikan gratis untuk Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Fenomena pendidikan gratis ini memang sangat ditunggu-tunggu, pasalnya Pemerintah mengeluarkan dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) untuk menutupi harga-harga buku yang kian hari kian melambung, sumbangan ini itu, gaji guru yang tidak cukup dan biaya-biaya lainnya.
            Dilihat dari perkembanganya, fenomena ini tidak lepas dari pro dan kontra. Bagi yang pro dengan program-program itu mengatakan bahwa itu adalah upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan dan penurunan angka anak putus sekolah, sekolah gratis bagi orangtua bisa mengurangi beban pikirannya untuk masalah biaya pendidikan dan tidak ada lagi anak-anak yang tidak boleh ikut ujian hanya karena belum bayar iuran sekolah. Sedangkan yang kontra berkata pemerintah bagaikan pahlawan kesiangan, Hal ini dikarenakan telah ada yang lebih dulu melakukan hal tersebut, yaitu LSM-LSM yang concern pada bidang pendidikan dan penanganan masyarakat tak mampu. Adanya kurang rasa harus sekolah, kesadaran akan pendidikan sangat kurang, anak lebih mementingkan pekerjaan dari pada harus sekolah yang tidak mengeluarkan apa-apa. Biaya pendidikan gratis hanya sampai dengan Sekolah Menengah Pertama sedangkan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas tidak. Sedangkan tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Ataslah yang merupakan tombak utama dan usia yang mapan untuk mencari pekerjaan serta penghasil devisa negara.
            Sekolah menjadi bermutu karena ditopang oleh peserta didik yang punya semangat belajar. Mereka mau belajar kalau ada tantangan, salah satunya tantangan biaya. Generasi muda dipupuk untuk tidak mempunyai mental serba gratisan. Sebaiknya mental gratisan dikikis habis. Kerja keras, rendah hati, toleran, mampu beradaptasi, dan takwa, itulah yang harus ditumbuhkan agar generasi muda ini mampu bersaing di dunia internasional, mampu ambil bagian dalam percaturan dunia, bukan hanya menjadi bangsa pengagum, bangsa yang rakus mengonsumsi produk. Paling susah adalah pemerintah menciptakan kondisi agar setiap orangtua mendapat penghasilan yang cukup sehingga mampu membiayai pendidikan anak-anaknya.
            Tidak hanya murid saja melainkan guru yang terkena imbas dari pendidikan gratis ini. Kebanyakan dari guru sekolah gratisan mengalami keterbatasan mengembangkan diri dan akhirnya akan kesulitan memotivasi peserta didik sebab harus berpikir soal ”bertahan hidup”. Lebih celaka lagi jika guru berpikiran : pelayanan pada peserta didik sebesar honor saja. Jika demikian situasinya, maka ”jauh panggang dari api” untuk menaikkan mutu pendidikan.
            Sekolah, terutama sekolah swasta kecil, akan kesulitan menutup biaya operasional sekolah, apalagi menyejahterakan gurunya. Pembiayaan seperti listrik, air, perawatan gedung, komputer, alat tulis kantor, transpor, uang makan, dan biaya lain harus dibayar. Mencari donor pun semakin sulit. Sekolah masih bertahan hanya berlandaskan semangat pengabdian pengelolanya. Tanpa iuran dari peserta didik, bagaimana akan menutup pembiayaan itu.

Kualitas Pendidikan vs Pendidikan Gratis

            Pemberlakuan sekolah gratis bukan berarti penurunan kualitas pendidikan, penurunan minat belajar para siswa, dan penurunan tingkat kinrerja guru dalam kegiatan belajar mengajar di dunia pendidikan. Untuk itu bukan hanya siswa saja yang diringankan dalam hal biaya, namun kini para guru juga akan merasa lega dengan kebijakan pemerintah tentang kenaikan akan kesejahteraan guru. Tahun 2009 ini pemerintah telah memutuskan untuk memenuhi ketentuan UUD 1945 pasal 31 tentang alokasi APBN untuk pendidikan sebesar 20%. Sehingga akan tersedianya anggaran untuk menaikkan pendapatan guru, terutama guru pegawai negeri sipil (PNS) berpangkat rendah yang belum berkeluarga dengan masa kerja 0 tahun, sekurang-kurangnya berpendapatan Rp. 2 juta. Dari dana BOS yang diterima sekolah wajib menggunakan dana tersebut untuk pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru, sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP), pembelian buku teks pelajaran, biaya ulangan harian dan ujian, serta biaya perawatan operasional sekolah.
            Sedangkan biaya yang tidak menjadi prioritas sekolah dan memiliki biaya besar, seperti: study tour (karyawisata), studi banding, pembelian seragam bagi siswa dan guru untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris sekolah), serta pembelian bahan atau peralatan yang tidak mendukung kegiatan sekolah, semuanya tidak ditanggung biaya BOS. Dan pemungutan biaya tersebut juga akan tergantung dengan kebijakan tiap-tiap sekolah, serta tentunya pemerintah akan terus mengawasi dan menjamin agar biaya-biaya tersebut tidak memberatkan para siswa dan orangtua. Bagaimana jika suatu waktu terjadi hambatan atau ada sekolah yang masih kekurangan dalam pemenuhan biaya operasionalnya? Pemerintah daerah wajib untuk memenuhi kekurangannya dari dana APBD yang ada. Agar proses belajar-mengajar pun tetap terlaksana tanpa kekurangan biaya.
            Melihat kondisi diatas, semua itu adalah usaha pemerintah untuk mensejahterahkan rakyatnya dalam hal ekonomi dan pendidikan, tapi alangkah baiknya tidak memberlakukan sekolah gratis melainkan sekolah murah, dan program bea siswa. Mengapa sekolah harus murah. Diantaranya; sekolah murah adalah harapan semua orang, tidak hanya para murid dan orangtuanya, namun juga para guru selagi kesejahteraannya mendapatkan jaminan dari pemerintah. Sekolah murah dalam banyak hal bisa menyenangkan, tanpa dibebani tanggungan biaya sekolah sang anak yang mahal, orangtua dapat tenang menyekolahkan anaknya dan urusan pencarian dana untuk memenuhi kebutuhan keluarga lebih dikosentrasikan kepada kebutuhan sandang, pangan, papan dan kesehatan. Sang anak pun bisa tenang melakukan aktivitas pendidikan, sebab tidak lagi merasa menjadi beban bagi orangtua.
            Dan bukankah suasana yang menyenangkan salah satu faktor terpenting dalam proses belajar-mengajar? Bagaimana peserta didik dapat belajar dengan baik jika konsentrasinya harus terbagi memikirkan dana sekolahnya yang belum terlunasi orangtuanya. Ataupun waktu di luar sekolahnya harus terbagi untuk membantu orangtuanya mencari tambahan penghasilan. Tidakkah kasus murid-murid yang bunuh diri karena biaya sekolah yang mencekik belum menjadi peringatan?
            Adanya sekolah murah yang dana aktivitas pendidikannya terbanyak atau sepenuhnya ditanggung pemerintah, bisa menumbuhkan kepercayaan masyarakat akan peran dan keberadaan pemerintah. Kebijakan-kebijakan pemerintah akan segera didengar dan dipatuhi masyarakat selagi masyarakat benar-benar merasa pemerintah berada di pihak mereka dan berusaha menyejahterahkan masyarakatnya. Sebaliknya, pemerintah pun akan memiliki bargaining politik yang kuat. Salah satu prasyarat pemerintahan yang kuat dan berdaulat adalah harus mendapatkan cinta dari rakyatnya.

Penutup
Dari kejadian ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pendidikan gratis itu sangat sulit di wujudkan terhadap suatu Negara yang SDM pengelola pendidikannya masih rendah. Bahkan akan terpuruk pada penurunan kualitas pendidikan itu sendiri. Sekolah negeri yang seharusnya gratis sebab di biayai pemerintah, ternyata tak mampu meningkatkan pendidikan di Negara dan tidak memiliki daya saing dengan sekolah swasta lainnya.
Kurangnya daya saing inilah, baik karena pengelola ataupun guru membuat kualitas pendidikan menurun, guru tak kreatif, dan pembelajaran berlangsung monoton. Dengan begitu akan memunculkan kebosanan pada siswa yang belajar di sekolah tersebut dan kalau di biarkan terus menerus akan menjadikan pendidikan sebagai momok yang di takuti oleh siswa.
Maka dari itu, kalau kita mau mewujudkan pendidikan yang gratis dan berkualitas, harus di iringi dengan pengawasan yang ketat terhadap pengelola pendidikan. Jangan di biarkan begitu saja. Walaupun para pengelola tersebut telah lulus dalam tes sebagai pengelola yang sesuai dengan SOP yang telah di buat, tidak menutup kemungkinan akan turun kualitasnya baik dari segi ilmu, kinerja, dan kreatifitas.
Akan tetapi, pembenahan dari praktik perwujudan program Wajib Belajar 9 tahun tersebut tetap dapat dilakukan secara simultan dengan realisasi program Wajib Belajar 12 Tahun. Artinya, dari perspektif anggaran dan program, masalah pendidikan di semua jenjang pada dasarnya serupa. Jika pemerintah memiliki komitmen kuat untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, pendidikan terjangkau dan bermutu merupakan keniscayaan di republik tercinta ini.
Dengan demikian, pendidikan perlu gratis tentunya hanya untuk masyarakat miskin yang ada di Indonesia.


Minggu, 11 Maret 2012

Pembentukan Karakter Dalam Sekolah

Pembentukan Karakter Dalam Sekolah

Pada mulanya yaitu sebelum ada pendidikan melalui sekolah seperti sekarang ini, maka pendidikan dijalankan secara spontan dan langsung dalam kehidupan sehari-hari di dalam keluarga. Anak-anak petani langsung mempelajari tentang kelautan dan perikanan dengan langsung mengikuti orang dewasa menangkap ikan. Selagi mempelajari pekerjaan yang dilakukan, mereka sekaligus juga belajar tentang nilai-nilai dan norma-norma yang berhubungan denan pekerjaannya. Maka pendidikan pada waktu itu merupakan sesuatu yang konkret, dan tidak direncanakan tetapi langsung berhubungan dengan keperluan hidup 

Seorang anak pertama kalinya memperoleh pendidikan dalam keluarga. Dengan demikian keluarga dapat dikatakan adalah peletak dasar bagi pendidikan seorang anak. Artinya keluarga sangat berperan dalam perkembangan kepribadian anak. Namun pada masa sekarang sekolah dibutuhkan karena masyarakat modern dengan kebudayaan dan peradaban yang telah maju menawarkan demikian banyak kepandaian dengan kerumitan dan kompleksitas yang tinggi sehingga tidak mungkin lagi mempelajari kepandaian yang diperlukan hanya sambil lalu dalam praktek.

Pendidkan sesungguhnya berkaitan erat dengan manusia. N Driyarkara memandang bahwa manusia dan pendidikan merupakan dua sisi dari satu kehidupan. Melalui pendidikan seseorang dapat dimanusiakan menjadi manusia. Persoalannya adalah, apakah kita di negeri ini sudah sampai ideal seperti itu? Lembaga pendidikan di Indonesia ternyata gagal berperan sebagai pranata sosial yang mampu membangun karakter bangsa Indonesia sesuai dengan nilai-nilai normatif kebangsaan yang dicita-citakan.
Munculnya banyak kasus yang destruktif dalam konteks kebangsaan, misalnya terjadinya sentimen antaretnis, perselisihan antarsuku, kasus-kasus narkoba, tawuran antarpelajar, kekerasan terhadap anak, menunjukkan karakter kebangsaan Indonesia saat ini lemah. Saat kebijakan pendidikan masih sering berorientasi politik dengan cara berpikir proyek paradigmanya. Belum ada usaha serius untuk mencari akar dari segala keterpurukan bangsa ini pada pendidikan. Pendidikan juga belum membawa anak didik pada kesadaran akan dirinya sendiri sebagai manusia yang berpikir untuk merdeka yang mana peserta didik sejak awal dilatih memiliki wawasan yang luas mengenai realitas. Pendidikan di negeri ini belum mencerminkan sejauh mana proses transformasi sosial telah berhasil.

Pendidikan kita tidak pernah jujud di dalam mengajar nilai-nilai kebenaran karenasemua dilakukan di area formalisme belaka. Sistem pendidikan kita hanya mengandalkan cara berpikir yang bermuatan kurikulum, bukan pada pembentukan karakter anak didik.

Tanpa habitus baru, pendidikan akan selalu dijadikan pertarungan politik abadi. Di balik itu semua, ada keresahan yang mendapat karena pendidikan cuma dijadikan alat politisasi. Terlebih, peserta didik mengalami frustasi sosial amat parah sebab tidak memperoleh hak untuk mendapatkan pengetahuan yang selayaknya. Kita membutuhkan habitus baru untuk mengelola pendidikan jika tidak mau melihat kehancuran bangsa ini 1-20 tahun yang akan datang.

Pembentukan karakter di sekolah
Deng Xiaoping dalam program reformasi pendidikannya pada tahun 1985 secara eksplisit mengungkapkan tentang pentingnya pendidikan karakter. Throughout the reform of the education system, it is emperative to bear in mind that reform is for the fundamental purpose of turning every citizen into a man or woman of character and cultivating more constructive members of society (‘Decisions of Reform of the Education System’, 1985). Karena itu program pendidikan karater telah menjadi kegiatan yang menonjol di Cina yang dijalankan sejak jenjang pra-sekolah sampai universitas.
Nah, apabila Cina bisa melakukan pendidikan karakter untuk 1,3 miliar menjadi manusia yang berkarakter (rajin, jujur, peduli terhadap sesama, rendah hati, terbuka), Indonesia tentunya bisa melakukannya. Namun, gaung pendidikan karakter belum banyak terdengar dari para pemimpin kita. Tentunya, sebagai warga negara yang bertanggung jawab, kita semua bisa melakukannya dalam sekolah.
Pembentukkan karakter yang dilakukan dalam sekolah-sekolah kita mempunyai beberapa fungsi strategis untuk menumbuhkan kesadaran diri. Kecakapan kesadaran diri pada dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa, sebagai anggota masyarakat dan warga negara, sebagai bagian dari lingkungan, serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sekaligus menjadikannya sebagai modal untuk meningkatkan diri sebagai individu yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun lingkungannya. Dengan kesadaran diri sebagai hamba Tuhan, seseorang akan terdorong untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, serta mengamalkan ajaran agama yang diyakininya. Pendidikan agama bukan dimaknai sebagai pengetahuan semata, tetapi sebagai tuntunan bertindak berperilaku, baik dalam hubungan antara dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa, maupun hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya. Kesadaran diri merupakan proses internalisasi dari informasi yang diterima yang pada saatnya menjadi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan diwujudkan menjadi perilaku keseharian. Oleh karena itu, walaupun kesadaran dirilebih merupakan sikap, namun diperlukan kecakapan untuk menginternalisasi informasi menjadi nilai-nilai dan kemudian mewujudkan menjadi perilaku keseharian.
Kecakapan kesadaran diri tersebut dapat dijabarkan menjadi pertama, kesadaran diri sebagai hamba Tuhan diharapkan mendorong yang bersangkutan untuk beribadah sesuai dengan tuntutan agama yang dianut, berlaku jujur, bekerja keras, disiplin dan amanah terhadap kepercayaan yang dipegangnya. Bukankah prinsip itu termasuk bagian dari akhlak yang diajarkan oleh semua agama? Kedua, kesadaran diri bahwa manusia sebagai makhluk sosial akan mendorong yang bersangkutan untuk berlaku toleran kepada sesama, suka menolong dan menghindari tindakan yang menyakiti orang lain. Bukankah memang Tuhan YME menciptakan manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa untuk saling menghormati dan saling membantu? Bukankah heterogenitas itu harmoni kehidupan yang seharusnya disinergikan? Ketiga, kesadaran diri sebagai makhluk lingkungan merupakan kesadaran bahwa manusia diciptakan Tuhan YME sebagai kholifah di muka bumi dengan amanah memelihara lingkungan. Dengan kesadaran itu, pemeliharaan lingkungan bukan sebagai beban, tetapi sebagai kewajiban ibadah kepada Tuhan YME, sehingga setiap orang akan terdorong untuk melaksanakan.
Keempat, kesadaran diri akan potensi yang dikaruniakan Tuhan kepada kita sebenarnya merupakan bentuk syukur kepada Tuhan. Dengan kesadaran itu, siswa akan terdorong untuk menggali, memelihara, mengembangkan dan memanfaatkan potensi yang dikaruniakan oleh Tuhan, baik berupa fisik maupun psikologis. Oleh karena itu, sejak dini siswa perlu diajak mengenal apa kelebihan dan kekurangan yang dimiliki (sebagai hamba Tuhan) dan kemudian mengoptimalkan kelebihan yang dimiliki dan memperbaiki kekurangannya. Jika siswa menyadari memiliki potensi olahraga, diharapkan akan terdorong untuk mengembangkan potensi tersebut menjadi olahragawan yang berprestasi. Demikian pula untuk potensi jenis lainnya. Walikelas, guru bimbingan konseling, guru bimbingan karier, bahkan semua guru perlu dan dapat berperan dalam mendorong siswa mengenal potensi yang dimiliki dan mengoptimalkan menjadi prestasi belajar.
Kelima, kesadaran tentang pemeliharaan potensi diri (jasmani dan rohani) diharapkan mendorong untuk memelihara jasmani dan rohaninya, karena keduanya merupakan karunia Tuhan yang harus disyukuri. Oleh karena itu, menjaga kebersihan, kesehatan, baik jasmani maupun rohani, merupakan bentuk syukur kepada Tuhan yang dilakukan. Berbagai mata pelajaran dapat menjadi wahana pengembangan kesadaran diri seperti itu, misalnya biologi dan olahraga dapat menjadi wahana yang sangat bagus untuk kesadaran memelihara jasmani, sedangkan agama, kewarganegaraan, sastra dapat menjadi wabana pemeliharaan rohani. Sebagai bentuk syukur kepada Tuhan, potensi yang dikaruniakan kepada kita harus dikembangkan, sehingga setiap orang harus mengembangkan potensiyang dikaruniakanNya. Pengembangan potensi dilakukan dengan mengasah atau melatih potensi itu. Dan itu berarti setiap orang harus terus-menerus belajar.
Jika kesadaran diri sebagai makhluk Tuhan, sebagai makhluk sosial dan makhluk lingkungan, serta kesadaran akan potensi diri dapat dikembangkan akan mampu menumbuhkan kepercayaan diri pada anak didik, karena mengetahui potensi yang dimiliki, sekaligus toleransi kepada sesama teman yang mungkin saja memiliki potensi yang berbeda.
Tentunya, pendidikan karakter adalah berbeda secara konsep dan metodologi dengan pendidikan moral, seperti kewarganegaraan, budi pekerti, atau bahkan pendidikan agama di Indonesia. Pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the goog, and acting the good yaitu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.
Sedangkan pendidikan moral, misalnya kewarganegaraan dan pelajaran agama hanya melibatkan aspek kognitif (hapalan) tanpa ada apresiasi (emosi) dan praktik. Sehingga jangan heran kalau banyak manusia Indonesia yang hapal isi Pancasila atau ayat-ayat suci, tetapi tidak tahu bagaimana membuang sampah yang benar, berlaku jujur, beretos kerja tinggi, dan menjalin hubungan harmonis dengan sesama.
Dalam hubungan ini maka apa yang disarankan Unesco perlu diperhatikan yaitu bahwa pendidikan harus mengandung tiga unsur: (a) belajar untuk tahu (learn to know). (b) belajar untuk berbuat (learn to do). (c). belajar untuk bersama (learn to live together). Unsur pertama dan kedua lebih terarah membentuk having, agar sumber daya manusia mempunyai kualitas dalam pengetahuan dan keterampilan atau skill. Unsur ketiga lebih terarah being menuju pembentukan karakter bangsa. Kini, unsur itu menjadi amat penting. Pembangkitan rasa nasionalisme, yang bukan ke arah nasionalisme sempit, penanaman etika berkehidupan bersama, termasuk berbangsa dan bernegara; pemahaman hak asasi manusia secara benar, menghargai perbedaan pendapat tidak memaksakan kehendak, pengembangan sensitivitas sosial dan lingkungan dan sebagainya merupakan beberapa hal dari unsur pendidikan melalui belajar untuk hidup bersama. Pendidikan dari unsur ketiga ini sudah semestinya dimulai sejak Taman Kanak-Kanak hingga perguruan tinggi. Penyesuaian dalam materi dan cara penyampaiannya tentu saja diperlukan.

Dampak pendidikan karakter
Apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership.
Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dariUniversity of Missouri - St Louis, menunjukkan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambar keberhasilan akademik
Pendidikan karakter ada-lah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongong masa depan karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Dalam buku Emotional Intelligence and School Succes (Joseph Zins, et. al 2001) mengkomplikasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor risiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor risiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ).
Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesuliran belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas dan sebagainya.
Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Kalau seorang anak mendapat pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya. Namun banyak orangtua yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter. Selain itu Daniel Goleman juga mengatakan bahwa banyak orangtua yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya entah karena kesibukan atau karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Namun ini semua dapat dikoreksi dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah.
Jadi, pendidikan karakter atau budi pekerti plus adalah suatu yang urgen untukdilakukan. Kalau kita peduli untuk meningkatkan mutu lulusan SD, SMP dan SMU, maka tanpa pendidikan karakter adalah usaha yang sia-sia. Mahatma Gandhi memperingatkan tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu "education without character" (pendidikan tanpa karakter). Dr. Martin Luther King juga pernah berkata: "Intelligence plus character... that is the good od true education" (Kecerdasan plus karakter.... itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya). Juga Theodore Roosevelt yang mengatakan: "To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society". Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat.

Selasa, 21 Februari 2012

Kompetensi Pedagogik GUru

Kompetensi Pedagogik merupakan salah satu jenis kompetensi yang mutlak perlu dikuasai guru.  Kompetensi Pedagogik pada dasarnya adalah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi Pedagogik merupakan kompetensi khas, yang akan membedakan guru dengan profesi lainnya dan akan menentukan tingkat keberhasilan proses dan hasil pembelajaran peserta didiknya.
Kompetensi ini tidak diperoleh secara tiba-tiba tetapi melalui upaya belajar secara terus menerus dan sistematis, baik pada masa pra jabatan (pendidikan calon guru) maupun selama dalam jabatan, yang didukung oleh bakat, minat dan potensi keguruan lainnya dari masing-masing individu yang bersangkutan.
Berkaitan dengan kegiatan Penilaian Kinerja Guru terdapat 7 (tujuh) aspek dan 45 (empat puluh lima) indikator yang berkenaan penguasaan  kompetensi pedagogik. Berikut ini disajikan ketujuh aspek kompetensi pedagogik beserta indikatornya:
A. Menguasai karakteristik peserta didik. Guru mampu mencatat dan menggunakan informasi tentang karakteristik peserta didik untuk membantu proses pembelajaran. Karakteristik ini terkait dengan aspek fisik, intelektual, sosial, emosional, moral, dan latar belakang sosial budaya:
  1. Guru dapat mengidentifikasi karakteristik belajar setiap peserta didik di kelasnya,
  2. Guru memastikan bahwa semua peserta didik mendapatkan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran,
  3. Guru dapat mengatur kelas untuk memberikan kesempatan belajar yang sama pada semua peserta didik dengan kelainan fisik dan kemampuan belajar yang berbeda,
  4. Guru mencoba mengetahui penyebab penyimpangan perilaku peserta didik untuk mencegah agar perilaku tersebut tidak merugikan peserta didik lainnya,
  5. Guru membantu mengembangkan potensi dan mengatasi kekurangan peserta didik,
  6. Guru memperhatikan peserta didik dengan kelemahan fisik tertentu agar dapat mengikuti aktivitas pembelajaran, sehingga peserta didik tersebut tidak termarjinalkan (tersisihkan, diolok‐olok, minder, dsb).
B. Menguasasi teori belajar dan prinsip‐prinsip pembelajaran yang mendidik. Guru mampu menetapkan berbagai pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang mendidik secara kreatif sesuai dengan standar kompetensi guru. Guru mampu menyesuaikan metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik dan memotivasi mereka untuk belajar:
  1. Guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menguasai materi pembelajaran sesuai usia dan kemampuan belajarnya melalui pengaturan proses pembelajaran dan aktivitas yang bervariasi,
  2. Guru selalu memastikan tingkat pemahaman peserta didik terhadap materi pembelajaran tertentu dan menyesuaikan aktivitas pembelajaran berikutnya berdasarkan tingkat pemahaman tersebut,
  3. Guru dapat menjelaskan alasan pelaksanaan kegiatan/aktivitas yang dilakukannya, baik yang sesuai maupun yang berbeda dengan rencana, terkait keberhasilan pembelajaran,
  4. Guru menggunakan berbagai teknik untuk memotiviasi kemauan belajar peserta didik,
  5. Guru merencanakan kegiatan pembelajaran yang saling terkait satu sama lain, dengan memperhatikan tujuan pembelajaran maupun proses belajar peserta didik,
  6. Guru memperhatikan respon peserta didik yang belum/kurang memahami materi pembelajaran yang diajarkan dan menggunakannya untuk memperbaiki rancangan pembelajaran berikutnya.
C. Pengembangan kurikulum. Guru mampu  menyusun silabus sesuai dengan tujuan terpenting kurikulum dan menggunakan RPP sesuai dengan tujuan dan lingkungan pembelajaran. Guru  mampu memilih, menyusun, dan menata materi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik:
  1. Guru dapat menyusun silabus yang sesuai dengan kurikulum,
  2. Guru merancang rencana pembelajaran yang sesuai dengan silabus untuk membahas materi ajar tertentu agar peserta didik dapat mencapai kompetensi dasar yang ditetapkan,
  3. Guru mengikuti urutan materi pembelajaran dengan memperhatikan tujuan pembelajaran,
  4. Guru memilih materi pembelajaran yang: (1) sesuai dengan tujuan pembelajaran, (2) tepat dan mutakhir, (3) sesuai dengan usia dan tingkat kemampuan belajar peserta didik, (4) dapat dilaksanakan di kelas dan (5) sesuai dengan konteks kehidupan sehari‐hari peserta didik.
D. Kegiatan pembelajaran yang mendidik.  Guru mampu menyusun dan melaksanakan rancangan pembelajaran yang mendidik secara lengkap. Guru mampu melaksanakan kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Guru mampu menyusun dan  menggunakan berbagai materi pembelajaran dan sumber belajar sesuai dengan karakteristik peserta didik. Jika relevan, guru memanfaatkan teknologi informasi komunikasi (TIK) untuk kepentingan pembelajaran:
  1. Guru melaksanakan aktivitas pembelajaran sesuai dengan rancangan yang telah disusun secara lengkap dan pelaksanaan aktivitas tersebut mengindikasikan bahwa guru mengerti tentang tujuannya,
  2. Guru melaksanakan aktivitas pembelajaran yang bertujuan untuk membantu proses belajar peserta didik, bukan untuk menguji sehingga membuat peserta didik merasa tertekan,
  3. Guru mengkomunikasikan informasi baru (misalnya materi tambahan) sesuai dengan usia dan tingkat kemampuan belajar peserta didik,
  4. Guru menyikapi kesalahan yang dilakukan peserta didik sebagai tahapan proses pembelajaran, bukan semata‐mata kesalahan yang harus dikoreksi. Misalnya: dengan mengetahui terlebih dahulu peserta didik lain yang setuju/tidak setuju dengan jawaban tersebut, sebelum memberikan penjelasan tentang jawaban yamg benar,
  5. Guru melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai isi kurikulum dan mengkaitkannya dengan konteks kehidupan sehari‐hari peserta didik,
  6. Guru melakukan aktivitas pembelajaran secara bervariasi dengan waktu yang cukup untuk kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan usia dan tingkat kemampuan belajar dan mempertahankan perhatian peserta didik,
  7. Guru mengelola kelas dengan efektif tanpa mendominasi atau sibuk dengan kegiatannya sendiri agar semua waktu peserta dapat termanfaatkan secara produktif,
  8. Guru mampu audio‐visual (termasuk tik) untuk meningkatkan motivasi belajar peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran. Menyesuaikan aktivitas pembelajaran yang dirancang dengan kondisi kelas,
  9. Guru memberikan banyak kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya, mempraktekkan dan berinteraksi dengan peserta didik lain,
  10. Guru mengatur pelaksanaan aktivitas pembelajaran secara sistematis untuk membantu proses belajar peserta didik. Sebagaicontoh: guru menambah informasi baru setelah mengevaluasi pemahaman peserta didik terhadap materi sebelumnya, dan
  11. Guru menggunakan alat bantu mengajar, dan/atau audio‐visual (termasuk tik) untuk meningkatkan motivasi belajar pesertadidik dalam mencapai tujuan pembelajaran.
E. Pengembangan potensi peserta didik. Guru mampu  menganalisis potensi pembelajaran setiap peserta didik dan mengidentifikasi pengembangan potensi peserta didik melalui program  embelajaran yang mendukung siswa mengaktualisasikan potensi akademik, kepribadian, dan kreativitasnya sampai ada bukti jelas bahwa peserta didik mengaktualisasikan potensi mereka:
  1. Guru menganalisis hasil belajar berdasarkan segala bentuk penilaian terhadap setiap peserta didik untuk mengetahui tingkat kemajuan masing‐masing.
  2. Guru merancang dan melaksanakan aktivitas pembelajaran yang mendorong peserta didik untuk belajar sesuai dengan kecakapan dan pola belajar masing‐masing.
  3. Guru merancang dan melaksanakan aktivitas pembelajaran untuk memunculkan daya kreativitas dan kemampuan berfikir kritis peserta didik.
  4.  Guru secara aktif membantu peserta didik dalam proses pembelajaran dengan memberikan perhatian kepada setiap individu.
  5. Guru dapat mengidentifikasi dengan benar tentang bakat, minat, potensi, dan kesulitan belajar masing-masing peserta didik.
  6. Guru memberikan kesempatan belajar kepada peserta didik sesuai dengan cara belajarnya masing-masing.
  7. Guru memusatkan perhatian pada interaksi dengan peserta didik dan mendorongnya untuk memahami dan menggunakan informasi yang disampaikan.
F. Komunikasi dengan peserta didik. Guru mampu berkomunikasi secara efektif, empatik dan santun dengan peserta didik dan bersikap antusias dan positif. Guru mampu  memberikan respon yang lengkap dan relevan kepada komentar atau pertanyaan peserta didik:
  1. Guru menggunakan pertanyaan untuk mengetahui pemahaman dan menjaga partisipasi peserta didik, termasuk memberikan pertanyaan terbuka yang menuntut peserta didik untuk menjawab dengan ide dan pengetahuan mereka.
  2. Guru memberikan perhatian dan mendengarkan semua pertanyaan dan tanggapan peserta didik, tanpamenginterupsi, kecuali jika diperlukan untuk membantu atau mengklarifikasi pertanyaan/tanggapan tersebut.
  3. Guru menanggapi pertanyaan peserta didik secara tepat, benar, dan mutakhir, sesuai tujuan pembelajaran dan isi kurikulum, tanpa mempermalukannya.
  4. Guru menyajikan kegiatan pembelajaran yang dapat menumbuhkan kerja sama yang baik antarpeserta didik.
  5. Guru mendengarkan dan memberikan perhatian terhadap semua jawaban peserta didik baik yang benar maupun yang dianggap salah untuk mengukur tingkat pemahaman peserta didik.
  6. Guru memberikan perhatian terhadap pertanyaan peserta didik dan meresponnya secara lengkap danrelevan untuk menghilangkan kebingungan pada peserta didik.
G. Penilaian dan Evaluasi. Guru mampu menyelenggarakan penilaian proses dan hasil belajar secara berkesinambungan. Guru melakukan evaluasi atas efektivitas proses dan hasil belajar dan menggunakan informasi hasil penilaian dan evaluasi untuk merancang program remedial dan pengayaan. Guru mampu menggunakan hasil analisis penilaian dalam proses pembelajarannya:
  1. Guru menyusun alat penilaian yang sesuai dengan tujuan pembelajaran untuk mencapai kompetensi tertentu seperti yang tertulis dalam RPP.
  2. Guru melaksanakan penilaian dengan berbagai teknik dan jenis penilaian, selain penilaian formal yang dilaksanakan sekolah, dan mengumumkan hasil serta implikasinya kepada peserta didik, tentang tingkat pemahaman terhadap materi pembelajaran yang telah dan akan dipelajari.
  3. Guru menganalisis hasil penilaian untuk mengidentifikasi topik/kompetensi dasar yang sulit sehingga diketahui kekuatan dan kelemahan masing‐masing peserta didik untuk keperluan remedial dan pengayaan.
  4. Guru memanfaatkan masukan dari peserta didik dan merefleksikannya untuk meningkatkan pembelajaran selanjutnya, dan dapat membuktikannya melalui catatan, jurnal pembelajaran, rancangan pembelajaran, materi tambahan, dan sebagainya.
  5. Guru memanfatkan hasil penilaian sebagai bahan penyusunan rancangan pembelajaran yang akan dilakukan selanjutnya.
======
Sumber:
Kementerian Pendidikan Nasional. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. 2010. Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Guru  (PK Guru). Jakarta. www.bermutuprofesi.org
=============
Refleksi:
=============
Melihat berbagai indikator yang ada, tampak bahwa untuk menjadi guru yang sejatinya bukan hal yang mudah. Guru adalah desainer masa depan anak. Melalui sentuhannya, masa depan anak akan banyak ditentukan. Kesalahan perlakuan bisa berdampak fatal terhadap perkembangan anak, yang tidak hanya terjadi pada hari ini tapi justru nanti di kemudian hari.
Dalam sejarah perkembangan profesi guru di Indonesia, kita bisa melihat fakta bahwa dulu proses rekrutmen guru masih sangat longgar. Posisi guru seolah-olah bisa diisi oleh siapa pun, tanpa banyak melihat kualifikasi dan kompetensi yang dimilikinya. Dalam bahasa sederhananya,  “yang penting ada guru” atau ” asal ada guru”.
Memasuki abad ke-21, tantangan hidup dan kehidupan sangatlah dinamis dan kompleks. Semua ini mau-tidak mau menghendaki adanya perubahan yang mendasar dan signifikan terhadap proses pendidikan dan pembelajaran peserta didik, yang di dalamnya mengandung implikasi kuat terhadap perubahan peran dan tugas yang dilakukan oleh guru.
Mungkin karena alasan itulah, saat ini pemerintah sedang berusaha menata dan membenahi profesi guru ini, mulai dari proses pendidikan calon guru (penataan LPTK), saat mengawali karir guru (program induksi), dan selama menjadi guru (penilaian kinerja guru dan pengembangan keprofesian berkelanjutan). Kita yakini bahwa semua itu ditujukan agar pendidikan benar-benar dipegang oleh orang-orang yang  memiliki keahlian di bidangnya. sehingga pada gilirannya pendidikan dan kehidupan di negeri  ini pun dapat hadir menjadi lebih baik lagi. Semoga!
Bagaimana menurut Anda?

Selasa, 14 Februari 2012

valentine days


VALENTINE


BAB I
PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Pemurah, yang Mencipta semua ilmu sejak dari azali hingga kekal abadi, dan yang menyimpan semua ilmu itu dalam diri-Nya. Dialah sumber dan sebab musabab penciptaan segala yang wujud ini.
Segala puji bagi Allah yang menurunkan Al-Qur’an dan menjelaskan sebab-sebab Al-Qur’an itu diturunkan, yaitu sebagai peringatan dan petunjuk bagi manusia. Diturunkannya Al-Qur’an kepada hamba-Nya juga untuk membimbing mereka ke jalan yang benar dan dijadikan-Nya Islam sebagai agama yang diridhoi-Nya.
Shalawat dan salam kepada kekasih-Nya Nabi Muhammad SAW yang Ia sendiri mengajar kekasih-Nya itu. Beliaulah Rasul dan Nabi terakhir yang diutus untuk semua manusia di bumi ini agar membimbing ke jalan yang lurus dan benar. Serta mengeluarkan mereka dari jalan yang sesat dan gelap. Beliaulah Nabi paling mulia dan dimuliakan serta disebut-sebut dalam kitab-kitab terdahulu. Pewarisnya adalah pembimbing bagi insan yang ingin mencari ridlo Allah. Para sahabatnya adalah orang-orang pilihan-Nya dan semoga keridhoan Allah kepada ruh-ruh mereka sekalian.
أنَّ النَّبِيَّ ص م: قَالَ لَتَتَّبَعُنَّ سَـنَنَ مِنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍوذِرَاعًابِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوْاحُجْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوْهُ.

Sesungguhnya Nabi SAW bersabda:
“Kalian benar-benar akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sedepa demi sedepa. Hingga, sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak pun, niscaya kalian akan turut memasukinya”.
(Muttafaq Alaih dari Abu Said al-Khudri).

Pada kesempatan ini penulis membahas Valentine karena hari Valentine itu tak ada kaitannya dengan Islam dan yang mengikutinya pasti akan tersesat, sepertinya sudah menjadi bagian hidup masyarakat masa kini. Pintu kerusakan telah terbuka terutama bagi para remaja dan masyarakat awam pada umumnya. Seolah kasih sayang hanya tertumpah pada satu hari itu, yang kurang berarti dan semau sendiri.
              

BAB II
PEMBAHASAN
A.     DEFINISI
1.      Definisi Valentine Day Secara Istilah
Hari yang tak ada tuntunannya dalam Islam dan sama sekali tak membawa kebaikan di kalangan para pemuda Islam, yang merayakannya pun kebanyakan dari kaum Nasrani. (Muhammad Shalih Al-Munajjid, 2009) 
2.      Definisi Valentine Day Menurut Pendapat Beberapa Ulama
a.       Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsainin beliau berkata: “Merayakan Valentine Day tidak diperbolehkan karena beberapa alas an”. Pertama, termasuk salah satu hari raya bid’ah yang tidak ada dasar hukumnya dalam syariat Islam.” Kedua, dapat menyibukkan hati dengan hal-hal yang tidak berguna dan sangat bertentangan dengan petunjuk para salafus shaleh. Oleh karenanya, tidak dibolehkan mengadakan acara apapun dari syi’ar syi’ar hari raya mereka, baik dalam bentuk makanan, minuman, pakaian, saling tukar hadiah, atau yang lainnya. Setiap muslim hendaknya bangga dengan agamanya dan menjadi orang mempunyai pegangan dan tidak hanya ikut-ikutan”. Allahua’lam.
b.      Menurut Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Al-Jibrin berkata : “Tidak boleh merayakan hari raya bid’ah semacam ini, sebab ia termasuk bid’ah yang diadakan dan tidak ada dalilnya dalam syari’at.”
Hal ini masuk dalam kategori hadits Aisyah bahwa Nabi bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَ هَذَامَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَرَدٌّ
“Barang siapa mengada-ada (sesuatu) dalam urusan (agama) kami ini, padahal bukan termasuk bagian di dalmnya maka ia tertolak”.
c.       Menurut Al-Lajnah Ad-Daimah berkata : “setiap muslim diharamkan membantu penyelenggaraan hari raya tersebut dan hari raya lainnya yang diharamkan dengan suatu apapun, baik berupa makanan , minuman, penjualan, pembelian, produk hadiah, surat, iklan, dan sebagainya. Karena semua ini termasuk tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan serta bermaksiat kepada Allah dan Rosul-Nya. Wajib bagi setiap muslim berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan sunnah di segala kondisi, lebih-lebih pada saat-saat terjadinya fitnah dan banyak kerusakan. Hendaknya ia waspada agar tidak terjerumus dalam kesesatan orang-orang yang tidak mengharapkan kehormatan dari Allah dan tidak menghormati Islam. Seorang muslim juga hendaknya kembali kepada Allah dengan memohon petunjuknya dan keteguhan di atasnya. Sebab, tidak ada yang dapat memberi petunjuk selain Allah dan tidak ada yang dapat memberikan keteguhan selain Allah. Hanya Allahlah yang kuasa memberikan petunjuk” (Al-Munajjid, 2009 : 160-162).
       

B.     DALIL TENTANG VALENTINE
1.      Dalil dari Al-Qur’an
Allah SWT berfirman :
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنََّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggung jawabannya”. (Al – Isra’ : 36).
Allah SWT berfirman :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ     وَتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
 “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, Sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya”. (Al- Maidah : 2).
Allah SWT berfirman:
وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai berai
dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas.
Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat adzab yang berat.”
(Ali -  Imron : 105).   

2.      Dalil dari Al Hadits
Rosulullah SAW bersabda:
اِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدًا وَاِنَّ هَذَا عِيْدَنَا
“Sesungguhnya setiap kaum itu memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita (H.R. Al-Bukhori dan Muslim)
Rosulullah SAW bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka. “ (H.R. Ahmad dan Abu Dawud)
Rosulullah SAW bersabda :
إِذَا أحَبَّ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَلْيُخْبِرْهُ أَنَّهُ يُحِبُّهُ

“Jika seseorang mencintai saudaranya (seiman) hendaklah ia memberitahukan kepadanya bahwa ia mencintainya”. (H.R. Abu Dawud dan At –Tirmidzi) 
C.     SEJARAH VALENTINE DAY
Valentine day termasuk salah satu hari raya penyembahan berhala (paganisme) bangsa romawi. Karena saat itu, paganisme mendominasi bangsa Romawi lebih dari tujuh belas abad. Ia merupakan ungkapan cinta tuhan menurut paham paganisme Romawi.
Hari raya paganisme ini memiliki mitos yang berkelanjutan dikalangan bangsa Romawi dan pewaris mereka dari kalangan Kristen. Di antara mitos yang paling masyhur adalah kepercayaan bahwa suatu hari Rommelios, pendiri kota Roma, di susui oleh seekor srigala hingga serigala itu memberinya kekuatan dan keunggulan pikiran.
Akhirnya, bangsa Romawi pun selalu memeringati peristiwa ini dengan perayaan yang besar pada pertengahan bulan Februari dalam setiap tahun. Gambarnya adalah sebagai berikut :
Pada perayaan itu di sembelih seekor anjing dan seekor kambing. Lantas dua orang pemuda yang berotot meminyaki tubuh keduanya dengan darah anjing dan kambing tersebut. Kemudian, keduanya mencuci darah itu dengan susu. Sesudah itu, lewatlah arak-arakan pawai dalam jumlah besar dimana kedua pemuda tadi berada di bagian depan mengelilingi jalan-jalan. Kedua pemuda itu membawa dua potongan kulit yang digunakan untuk menyentuh siapapun yang mereka jumpai. Para perempuan muda Romawi pun berebut untuk menyambut sentuhan kulit itu karena mereka percaya bahwa sentuhan tersebut dapat mencegah dan menyembuhkan kemandulan (Shalih Al- Munajjid, 2009 : 138-139).
Selain itu, tradisi mengirim kartu Valentine itu sendiri tidak ada kaitan langsung dengan santo valentine. Pada tahun 1415 M, Duke of Orleans dipenjara di Tower of London, pada perayaan hari gereja mengenang St. Valentine tanggal 14 Februari, ia mengirim puisi kepada istrinya di Prancis. Oleh Goffrey Chaucer, penyair Inggris, peristiwa itu dikaitkan dengan musim kawin burung-burung dalam puisinya.
Adapun Cupid (berarti : the desire), Si bayi atau lelaki rupawan setengah telanjang yang bersayap dengan panah adalah putra Nimrod “The hunter dewa Matahari. Disebut tuhan Cinta, karena itu begitu rupawan sehingga diburu banyak perempuan bahkan dikisahkan bahwa ibu kandungnya sendiri pun tertarik sehingga melakukan incets (secara harfiah berarti hubungan seks antara saudara kandung) dengan anak kandungnya itu (Rizki, 2005)           
D.    RITUAL VALENTINE DAY
Ritual-ritual Valentine Day diantaranya adalah :
1.      Menampakkan kebahagiaan dan kegembiraan sebagaimana pada hari raya lainnya. 
2.      Saling memberikan bunga mawar merah (merah jambu). Hal itu sebagai ungkapan cinta atau kasih sayang yang merupakan cinta tuhan menurut para penyembah berhala (paganisme) dan cinta menurut orang-orang Kristen. Karena itulah ia dinamakan (menurut mereka) hari raya orang-orang yang dilanda rindu.
3.      Membagi-bagikan kartu ucapan selamat bergambarkan cupid. Cupid adalah gambar bayi bersayap dua serta membawa busur dan anak panah. Ia merupakan dewa cinta bagi umat paganis bangsa Romawi.
4.      Saling memberikan ungkapan kasih sayang, kerinduan dan cinta pada kartu ucapan selamat dalam bentuk puisi, prosa, atau pun kalimat-kalimat pendek. Di sebagian kartu ucapan selamat tersebut juga terdapat gambar dan ungkapan-ungkapan yang lucu dan jenaka. Yang paling banyak ditulis ungkapan To be My Valentine”. 
5.      Dibanyak negeri Kristen diadakan pesta dansa sehari semalam yang penuh dengan ikhtilat (campur baur antar lawan jenis). Banyak diantara mereka yang memberikan hadiah seperti bunga mawar dan kotak-kotak coklat kepada teman sejawat, rekan, dan orang-orang yang mereka cintai (Al-Munajjid, 2009:142).
Setelah memperhatikan berbagai mitos seputar hari raya Valentine yang telah dipaparkan di depan dapat diambil beberapa hal sebagai berikut:
1.      Asal perayaan ini ialah kepercayaan paganisme pada bangsa Romawi untuk mngungkapkan kecintaan kepada tuhan, yaitu sebuah berhala yang mereka sembah selain Allah. Oleh karena itu, barang siapa yang merayakan upacara kesyirikan untuk menyembah berhala-berhala. Allah SWT berfirman:
إِ  نَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظََّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seseorang penolong pun” (Al-Maidah : 72).       
2.      Dengan berkembangnya hari raya ini pada bangsa Romawi terkait erat dengan mitos-mitos yang sama sekali tidak bisa diterima oleh akal sehat, terlebih lagi akal seseorang muslim yang beriman kepada Allah dan para Rasul-Nya.
Apakah masuk akal apabila ada seekor srigala yang menyusui seorang pendiri kota Roma dan memberinya kekuatan serta keunggulan pikiran, berdasarkan apa yang menyelisihi akidah seorang muslim? Sesungguhnya yang bisa memberikan kekuatan dan keunggulan pikiran hanyalah Allah, bukan air susu seekor srigala.
3.      Salah satu syi’ar buruk pada hari raya bangsa Romawi ini ialah penyembelihan anjing dan kambing kemudian setelah itu melumurkan darahnya kepada dua orang pemuda. Hal ini tidak sesuai dengan fitroh yang lurus dan tidak bisa diterima oleh akal sehat.
4.      Orang-orang Kristen sendiri masih meragukan keterkaitan Santo Valentino dengan hari raya ini. Dahulu, umat Kristen menolak hari raya paganisme yang mereka adopsi dari kaum paganis. Lantas bagaimana dengan kaum muslimin yang diperintahkan untuk menyelisihi orang-orang Kristen maupun bangsa paganis sebelum mereka. 
5.      Pada masa dahulu, perayaan hari ini telah dihapuskan oleh para pendeta Kristen di Italia, benteng katolik Roma, karena didalamnya terdapat unsur penyebaran akhlak yang tercela dan mempengaruhi akal pemuda dan pemudi.
Oleh karena itu, sudah seharusnya kaum muslimin meninggalkannya, mewaspadainya dan menegakkan amar makruf nahi munkar terhadapnya. (Al – Munajjid 2009).
Valentine’s Day nampaknya ingin menyaingi hari raya Idhul Fithri. Ketika seluruh Umat Islam menumpahkan kasih sayang dan saling memaafkan kepada handai tolan dan kerabat terdekat mereka. Berbeda dengan Valentine’s day, yang prakteknya merupakan tindakan asusila terhadap lawan jenis yang haram (umumnya di sebut pacar). Momen kasih sayang dalam ajaran Islam bukan hanya terjadi pada Idhul Fithri saja, tetapi setiap hari dan setiap waktu umat islam diajari untuk saling mengasihi dan menyayangi sesama saudaranya seiman.            
E.     HARI VALENTINE DI INDONESIA
Tidak ada satu catatan pun yang bisa dijadikan patokan kapan hari Valentine ini mulai dinyatakan di Indonesia. Bisa jadi sejak masuknya penjajah Portugis atau Belanda yang awalnya dirayakan hanya dalam lingkup terbatas di dalam benteng atau kompleks militer mereka, yang kemudian meluas lewat orang-orang pribumi yang bekerja pada mereka atau lewat cara lainnya.
Yang jelas sejak tahun 1980-an perayaan hari Valentine ini semakin memprlihatkan kemeriahan. Di masa itu, telah memasuki bulan Februari, rak-rak yang berjajar di toko buku sudah mulai diisi beragam-ragam kartu ucapan Valentine’s Day, demikian juga toko-toko souvenir yang mulai memasang aneka kado bertema Valentine’s Day. Beberapa Mall dan supermarket saat memasuki bulan Februari juga sudah mendekor seluruh ruangan dengan warna-warna pink dan biru lembut, dengan hiasan-hiasan berbentuk hati dan pita di mana-mana.
Pada malam harinya, di jalan-jalan umum, bioskop-bioskop, atau di kafe-kafe yang mulai menjamur di kota-kota besar seperti Jakarta, pasangan-pasangan muda terlihat begitu mesra. Yang perempuan sengaja mengenakan busana yang didominasi warna pink dan “Sang arjuna” memakai pakaian berwarna biru. Seiring dengan kian meriahnya perayaan Valentine’s Day, muncul pula kelompok-kelompok yang mengkritisinya.
Pada masa itu, para pengkritisi Valentine’s Day biasanya berasal dari aktivis masjid, baik yang ada di sekolah menengah atau perguruan tinggi, yang ada pada tahun 1980-an juga mulai maraknya dengan acara-acara pengkajian keislamannya. Salah satu media yang paling dipakai para pengkritisi Hari Valentine adalah majalah dinding yang terdapat di sekolah menengah atau perguruan tinggi. Isinya pun beragam tetapi umumnya berupaya menjelaskan bahwa Hari Valentine adalah hari untuk memperingati kematian Santo Valentine, sebab itu umat Islam tidak dibenarkan untuk ikut-ikutan merayakannya. Ada yang setuju dan ada pula yang tetap mengikuti Hari Valentine.
Seperti peristiwa yang terjadi pada hari Sabtu siang, 14 Februari 2004. Saat jutaan remaja di seluruh dunia tengah bersiap menyambut datangnya malam Valentine’s Day, puluhan remaja SLTP dan SLTA kota Sumedang, Jawa Barat, malah melakukan aksi unjuk rasa menentang perayaan hari kasih sayang tersebut. Dalam aksinya, mereka melakukan long march 500 meter dari Alun-alun kota menuju Taman Telur Seraya membawa sejumlah poster, para pelajar yang tergabung dalam “Forum Aksi Keprihatinan Valentine’s Day “ itu membagi-bagikan selebaran yang berisi imbauan agar masyarakat tidak latah dengan perayaan yang mereka sebut sebagai budaya sampah itu (Rizki, 2005).                   

F.      HUKUM MERAYAKAN VALENTINE DAY
Tidak boleh merayakan Valentine’s Day karena hari raya itu adalah hari raya bid’ah, tidak ada dasarnya dalam syari’at. Dan akan menimbulkan kecengangan dan kecemburuan. Dan akan menyebabkan sibuknya hati dengan perkara-perkara bodoh yang bertolak belakang dengan tuntunan para salaf , karena itu, pada hari tersebut tidak boleh ada simbol-simbol perayaan, baik berupa makanan, minuman, pakaian, saling memberi hadiah, ataupun lainnya :
Dan pada pendahulu umat Islam hanya ada dua, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha (Aziz, 2003 : 461-462)
لِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا هُمْ نَاسِكُوهُ
“Bagi tiap-tiap umat telah kami tetapkan syari’at tertentu yang mereka lakukan ……….. (Al – Hajj : 67).
Hal ini sebagaimana halnya arah kiblat, shalat dan puasa. Oleh karenanya, tidak ada bedanya antara mengikuti hari raya mereka dan mengikuti seluruh jalan (manhaj) mereka. Menyetujui seluruh hari raya mereka sama halnya dengan menyetujui kekufuran mereka. Dan karena Valentine’s Day berasal dari masa Romawi dan bukan Islam, berarti perayaan ini termasuk ciri khusus agama Kristen. Bila orang Kristen dan Yahudi memiliki hari raya maka hari raya tersebut khusus untuk mereka, seorang muslim tidak boleh mengikuti syari’at mereka. Merayakan tasyabbuh (menyerupai) orang-orang paganis bangsa Romawi. Hal ini dilakukan juga oleh orang Kristen, maksud dari Valentine Day pada zaman sekarang ini adalah menebarkan rasa cinta kepada seluruh manusia baik yang mukmin maupun kafir. Padahal, mencintai dan menyayangi orang kafir adalah haram.
Kecintaan dan kasih sayang yang dimaksudkan di dalam Valentine Day adalah kecintaan yang bersifat isq (cinta buta) dan gharam (cinta penuh nafsu), yang diluar batas hubungan suami istri (Al – Munajjid, 2009 : 144-149).       
G.     SIKAP SEORANG MUSLIM TERHADAP VALENTINE DAY
Diantara fenomena yang dapat disaksikan kaum muslimin pada hari raya ini adalah :
1.      Setiap pelajar putri bersepakat dengan seorang sahabat yang dicintainya untuk mengikatkan sebuah pita berwarna merah pada pergelangan tangan kiri. 
2.      Mengenakan busana serba merah muda seperti blus, jepit rambut, sepatu, dan sebagainya.
3.      Balon-balon merah yang bertuliskan “I Love You.” Biasanya, balon-balon tersebut dikeluarkan pada akhir (jam) pelajaran di sebuah halaman yang tidak terlihat para guru.
4.      Menuliskan nama-nama dan gambar hati pada kedua tangan serta huruf pertama dari nama tersebut (inisial).
5.      Menaburkan bunga mawar merah (Al – Munajjid, 2009 : 156).
Disini juga akan dijelaskan bagaimana seorang muslim menyikapi hari Valentine.
Pertama : Tidak merayakan hari raya ini atau ikut merayakan dengan orang-orang yang merayakannya karena adanya dalil-dalil yang menunjukkan keharaman tentang merayakan hari raya orang kafir ini.
Al- Hafizh Adz – Dzahabi berkata, “Bila orang Kristen dan Yahudi memiliki hari raya maka hari raya tersebut dikhususkan untuk mereka saja. Seorang muslim tidak boleh ikut serta dengan mereka sebagaimana ia juga tidak boleh ikut serta mereka dalam syari’at dan kiblat mereka. Di samping itu, tasyabbuhnya akan membuat orang kafir senang dan menambah kecintaan orang beriman kepada orang kafir.
Kedua : Tidak membantu orang-orang kafir dalam merayakan hari raya mereka sebab ini adalah salah satu syi’ar kekafiran. Membantu dan membenarkan (menyetujui) mereka atas hari raya tersebut, sama dengan membantu kemenangan, ketinggian, serta stabilitas kekafiran. Sementara itu, seorang yang muslim menyetujui kekafiran serta membantu kemenangan dan ketinggiaannya.
Ketiga : Tidak membantu kaum muslimin yang ikut merayakan hari raya tersebut. Seorang muslim wajib mengingkari mereka, karena kaum muslimin yang merayakan hari raya orang-orang kafir merupakan bentuk kemungkaran yang wajib diingkari.
Akhirnya dapat kita ambil kesimpulan dari penjelasan di atas bahwa sikap seorang muslim terhadap Valentine Day diantaranya :
1.      Tidak merayakannya.
2.      Tidak membantu orang lain merayakannuya.
3.      Tidak memberi ucapan selamat.
4.      Menjelaskan kepada kaum muslimin tentang haramnya merayakan Valentine. (Al – Munajjid, 2009 : 153 – 159).      
H.     VALENTINE DAY KENAPA HARUS DIRIBUTKAN?
Tidak ada didunia ini kematian seseorang diperingati dengan begitu massal dan massif seperti halnya kematian Santo Valentine yang diyakini terjadi pada tanggal 14 Februari. Hari kematiannya kemudian diperingati sebagai Hari Valentine, suatu hari dimana orang-orang menyatakan rasa cinta atau kasih sayang kepada orang-orang yang diinginkannya. Para lelaki dan perempuan yang ingin menyatakan cintanya mengirim kartu atau hadiah kepada orang yang dituju dengan kalimat, Be My Valentine, “kalimat ini sama artinya dengan ucapan, jadilah kekasihku.”Benarkah demikian?
Ken Sweiger mengatakan juga bahwa kata “Valentine” berasal dari bahasa latin yang mempunyai persamaan dengan arti : “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat, dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini sebenarnya pada zaman Romawi kuno ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, tuhan orang Romawi.
Disadari atau tidak, demikian Sweiger, jika seseorang meminta orang lain atau pasangannya menjadi “To be My Valentine?” , maka dengan hal itu sesungguhnya kita telah terang-terangan melakukan suatu perbuatan yang dimurkai tuhan, istilah Sweiger, karena meminta seseorang menjadi “Sang Maha Kuasa dan hal itu sama saja dengan upaya menghidupkan kembali budaya pemujaan kepada berhala.
Jika memang begitu adanya, mengapa hari Valentine begitu mengundang kontroversial dan polemik. Bukan saja di negeri-negeri muslim, tapi juga di negeri-negeri yang bukan muslim. Bahkan sejumlah agama Kristen sendiri ada juga yang menyerukan umatnya agar tidak ikut-ikutan merayakan Valentine Day. Hal ini tentu tidak datang dengan sendirinya. Ada sesuatu di balik Hari Valentine yang membuat semua orang cemas dan mengharapkan budaya ini tidak menjadi budaya dunia. Namun walau begitu, masih banyak juga yang tidak peduli dan tetap memperingati atau merayakan hari raya ini.
Salah satu negeri dimana Hari Valentine benar-benar diperalat untuk kepentingan bisnis adalah apa yang terjadi di Jepang. Di negeri matahari terbit itu, para pengusaha dengan gencar berusaha menanamkan pengaruhnya bahwa di hari Valentine, para perempuan diharuskan memberi permen coklat atau coklat batangan kepada para pria yang disukainya. Tentukan dengan embel-embel, semakin mahal coklat yang diberikan maka semakin spesial arti pria yang diberikannya, namun hal ini tidaklah dilakukan secara sukarela, melainkan menjadi sebuah kewajiban, terutama bagi mereka yang bekerja di kantor-kantor. Mereka memberi coklat kepada para teman kerja pria mereka, kadangkala dengan biaya amat besar. Coklat ini disebut sebagai giri-choco dari kata giri (kewajiban) dan choco, singkatan chokoreeto, yang berarti coklat.
Seperti di Jepang, selain Hari Valentine, Taiwan juga mengenal Hari putih. Namun Taiwan tidak berhenti disini, mereka juga memperingati satu hari raya yang mirip dengan Hari Valentine dan Hari Putih dipandang dari arti dan fungsinya. Namanya adalah “Hari Raya Anak Perempuan” atau Qi Qiao Jie. Hari ini diselenggarakan pada hari ke-7, bulan ke-7 menurut tarikh kalender Tionghoa. Menurut kalender Gregorian tahun 2005, jatuh pada tanggal 11 Agustus 2005. (Rizki, 2005).





BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Jadi, saudaraku, ini adalah suatu kelalaian, padahal sekali lagi, perayaan ini adalah acara ritual agama lain. Hadiah yang diberikan pun sebagai ungkapan cinta adalah sesuatu yang baik, namun bisa dikaitkan dengan pesta-pesta ritual agama lain dan tradisi-tradisi Barat, akan mengakibatkan seseorang terobsesi oleh budaya dan gaya hidup mereka.
Dan dari pembahasan ini telah terbukti bahwa mengikuti hari valentine ini tidak diperbolehkan dalam Islam ini adalah perbuatan bid’ah dan termasuk juga tasyabbuh dan hari Valentine ini adalah hari yang mengikuti hari rayanya orang kafir maka ia termasuk dari golongan mereka.  
B.     Saran 
Alhamdulillah, dengan izin Allah, selesai sudah pembahasan makalah ini. Semoga dengan pembahasan ini dapat menjawab kekeliruan yang telah dilakukan oleh banyak manusia. Disini penulis juga meminta para pembaca sekalian kritik dan sarannya dan penulis meminta maaf apabila ada perkataan-perkataan yang salah.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Munajjid, Muhammad bin Shalih. 2009. Cet.I. Sunnah dan Bid’ah Tahunan. Andi Wicaksono, ed. Solo : PT. Aqwam Media Profetika.

Bin Baz, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah. 2010.Cet.VI. Fatwa-Fatwa Terkini 2. Jakarta : Darul Haq.

Jauhara, Adzka. Februari 2007. Al-Munajjid : 20-21.

Ridyasmara, Rizki. 2005. Cet IV. Valentine’s Day, Natal, Happy New Year, April Mop, dan Hallowen So What? Jakarta : Pustaka Al – Kautsar.

Yayasan Al-Sofwa.2010. Cet VI. Ada Apa dengan Valentine’s Day ? Jakarta . www.alsofwah.or.id.10.00/09/09/2011.

Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al – Qur’an. 2002. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta : CV Darus Sunnah.