Pembentukan Karakter Dalam Sekolah
Pada
mulanya yaitu sebelum ada pendidikan melalui sekolah seperti sekarang ini, maka
pendidikan dijalankan secara spontan dan langsung dalam kehidupan sehari-hari
di dalam keluarga. Anak-anak petani langsung mempelajari tentang kelautan dan
perikanan dengan langsung mengikuti orang dewasa menangkap ikan. Selagi
mempelajari pekerjaan yang dilakukan, mereka sekaligus juga belajar tentang
nilai-nilai dan norma-norma yang berhubungan denan pekerjaannya. Maka
pendidikan pada waktu itu merupakan sesuatu yang konkret, dan tidak
direncanakan tetapi langsung berhubungan dengan keperluan hidup
Seorang anak pertama kalinya
memperoleh pendidikan dalam keluarga. Dengan demikian keluarga dapat dikatakan
adalah peletak dasar bagi pendidikan seorang anak. Artinya keluarga sangat
berperan dalam perkembangan kepribadian anak. Namun pada masa sekarang sekolah
dibutuhkan karena masyarakat modern dengan kebudayaan dan peradaban yang telah
maju menawarkan demikian banyak kepandaian dengan kerumitan dan kompleksitas
yang tinggi sehingga tidak mungkin lagi mempelajari kepandaian yang diperlukan
hanya sambil lalu dalam praktek.
Pendidkan
sesungguhnya berkaitan erat dengan manusia. N Driyarkara
memandang bahwa manusia dan pendidikan merupakan dua sisi dari satu kehidupan.
Melalui pendidikan seseorang dapat dimanusiakan menjadi manusia. Persoalannya
adalah, apakah kita di negeri ini sudah sampai ideal seperti itu? Lembaga
pendidikan di Indonesia
ternyata gagal berperan sebagai pranata sosial yang mampu membangun karakter
bangsa Indonesia
sesuai dengan nilai-nilai normatif kebangsaan yang dicita-citakan.
Munculnya
banyak kasus yang destruktif dalam konteks kebangsaan, misalnya terjadinya
sentimen antaretnis, perselisihan antarsuku, kasus-kasus narkoba, tawuran
antarpelajar, kekerasan terhadap anak, menunjukkan karakter kebangsaan Indonesia
saat ini lemah. Saat kebijakan pendidikan masih sering berorientasi politik
dengan cara berpikir proyek paradigmanya. Belum ada usaha serius untuk mencari
akar dari segala keterpurukan bangsa ini pada pendidikan. Pendidikan juga belum
membawa anak didik pada kesadaran akan dirinya sendiri sebagai manusia yang
berpikir untuk merdeka yang mana peserta didik sejak awal dilatih memiliki
wawasan yang luas mengenai realitas. Pendidikan di negeri ini belum
mencerminkan sejauh mana proses transformasi sosial telah berhasil.
Pendidikan
kita tidak pernah jujud di dalam mengajar nilai-nilai kebenaran karenasemua
dilakukan di area formalisme belaka. Sistem pendidikan kita hanya mengandalkan
cara berpikir yang bermuatan kurikulum, bukan pada pembentukan karakter anak
didik.
Tanpa
habitus baru, pendidikan akan selalu dijadikan pertarungan politik
abadi. Di balik itu semua, ada keresahan yang mendapat karena pendidikan cuma
dijadikan alat politisasi. Terlebih, peserta didik mengalami frustasi sosial
amat parah sebab tidak memperoleh hak untuk mendapatkan pengetahuan yang
selayaknya. Kita membutuhkan habitus baru untuk mengelola pendidikan
jika tidak mau melihat kehancuran bangsa ini 1-20 tahun yang akan datang.
Pembentukan
karakter di sekolah
Deng
Xiaoping dalam program reformasi pendidikannya pada tahun 1985 secara eksplisit
mengungkapkan tentang pentingnya pendidikan karakter. Throughout the reform
of the education system, it is emperative to bear in mind that reform is for
the fundamental purpose of turning every citizen into a man or woman of
character and cultivating more constructive members of society (‘Decisions of
Reform of the Education System’, 1985). Karena itu program pendidikan
karater telah menjadi kegiatan yang menonjol di Cina yang dijalankan sejak
jenjang pra-sekolah sampai universitas.
Nah,
apabila Cina bisa melakukan pendidikan karakter untuk 1,3 miliar menjadi
manusia yang berkarakter (rajin, jujur, peduli terhadap sesama, rendah hati,
terbuka), Indonesia
tentunya bisa melakukannya. Namun, gaung pendidikan karakter belum banyak
terdengar dari para pemimpin kita. Tentunya, sebagai warga negara yang
bertanggung jawab, kita semua bisa melakukannya dalam sekolah.
Pembentukkan
karakter yang dilakukan dalam sekolah-sekolah kita mempunyai beberapa fungsi
strategis untuk menumbuhkan kesadaran diri. Kecakapan kesadaran diri pada
dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa, sebagai
anggota masyarakat dan warga negara, sebagai bagian dari lingkungan, serta
menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sekaligus
menjadikannya sebagai modal untuk meningkatkan diri sebagai individu yang
bermanfaat bagi diri sendiri maupun lingkungannya. Dengan kesadaran diri
sebagai hamba Tuhan, seseorang akan terdorong untuk beribadah sesuai dengan
agama dan kepercayaannya, serta mengamalkan ajaran agama yang diyakininya.
Pendidikan agama bukan dimaknai sebagai pengetahuan semata, tetapi sebagai
tuntunan bertindak berperilaku, baik dalam hubungan antara dirinya dengan Tuhan
Yang Maha Esa, maupun hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.
Kesadaran diri merupakan proses internalisasi dari informasi yang diterima yang
pada saatnya menjadi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan diwujudkan
menjadi perilaku keseharian. Oleh karena itu, walaupun kesadaran dirilebih merupakan
sikap, namun diperlukan kecakapan untuk menginternalisasi informasi menjadi
nilai-nilai dan kemudian mewujudkan menjadi perilaku keseharian.
Kecakapan
kesadaran diri tersebut dapat dijabarkan menjadi pertama, kesadaran diri
sebagai hamba Tuhan diharapkan mendorong yang bersangkutan untuk beribadah
sesuai dengan tuntutan agama yang dianut, berlaku jujur, bekerja keras,
disiplin dan amanah terhadap kepercayaan yang dipegangnya. Bukankah prinsip itu
termasuk bagian dari akhlak yang diajarkan oleh semua agama? Kedua,
kesadaran diri bahwa manusia sebagai makhluk sosial akan mendorong yang
bersangkutan untuk berlaku toleran kepada sesama, suka menolong dan menghindari
tindakan yang menyakiti orang lain. Bukankah memang Tuhan YME menciptakan
manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa untuk saling menghormati dan saling
membantu? Bukankah heterogenitas itu harmoni kehidupan yang seharusnya
disinergikan? Ketiga, kesadaran diri sebagai makhluk lingkungan
merupakan kesadaran bahwa manusia diciptakan Tuhan YME sebagai kholifah di muka
bumi dengan amanah memelihara lingkungan. Dengan kesadaran itu, pemeliharaan
lingkungan bukan sebagai beban, tetapi sebagai kewajiban ibadah kepada Tuhan
YME, sehingga setiap orang akan terdorong untuk melaksanakan.
Keempat,
kesadaran diri akan potensi yang dikaruniakan Tuhan kepada kita sebenarnya
merupakan bentuk syukur kepada Tuhan. Dengan kesadaran itu, siswa akan
terdorong untuk menggali, memelihara, mengembangkan dan memanfaatkan potensi
yang dikaruniakan oleh Tuhan, baik berupa fisik maupun psikologis. Oleh karena
itu, sejak dini siswa perlu diajak mengenal apa kelebihan dan kekurangan yang
dimiliki (sebagai hamba Tuhan) dan kemudian mengoptimalkan kelebihan yang
dimiliki dan memperbaiki kekurangannya. Jika siswa menyadari memiliki potensi
olahraga, diharapkan akan terdorong untuk mengembangkan potensi tersebut
menjadi olahragawan yang berprestasi. Demikian pula untuk potensi jenis
lainnya. Walikelas, guru bimbingan konseling, guru bimbingan karier, bahkan
semua guru perlu dan dapat berperan dalam mendorong siswa mengenal potensi yang
dimiliki dan mengoptimalkan menjadi prestasi belajar.
Kelima,
kesadaran tentang pemeliharaan potensi diri (jasmani dan rohani) diharapkan
mendorong untuk memelihara jasmani dan rohaninya, karena keduanya merupakan
karunia Tuhan yang harus disyukuri. Oleh karena itu, menjaga kebersihan,
kesehatan, baik jasmani maupun rohani, merupakan bentuk syukur kepada Tuhan
yang dilakukan. Berbagai mata pelajaran dapat menjadi wahana pengembangan
kesadaran diri seperti itu, misalnya biologi dan olahraga dapat menjadi wahana
yang sangat bagus untuk kesadaran memelihara jasmani, sedangkan agama,
kewarganegaraan, sastra dapat menjadi wabana pemeliharaan rohani. Sebagai
bentuk syukur kepada Tuhan, potensi yang dikaruniakan kepada kita harus
dikembangkan, sehingga setiap orang harus mengembangkan potensiyang
dikaruniakanNya. Pengembangan potensi dilakukan dengan mengasah atau melatih
potensi itu. Dan itu berarti setiap orang harus terus-menerus belajar.
Jika
kesadaran diri sebagai makhluk Tuhan, sebagai makhluk sosial dan makhluk
lingkungan, serta kesadaran akan potensi diri dapat dikembangkan akan mampu
menumbuhkan kepercayaan diri pada anak didik, karena mengetahui potensi yang
dimiliki, sekaligus toleransi kepada sesama teman yang mungkin saja memiliki
potensi yang berbeda.
Tentunya,
pendidikan karakter adalah berbeda secara konsep dan metodologi dengan
pendidikan moral, seperti kewarganegaraan, budi pekerti, atau bahkan pendidikan
agama di Indonesia.
Pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the
good, loving the goog, and acting the good yaitu proses pendidikan yang
melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir
menjadi habit of the mind, heart, and hands.
Sedangkan
pendidikan moral, misalnya kewarganegaraan dan pelajaran agama hanya melibatkan
aspek kognitif (hapalan) tanpa ada apresiasi (emosi) dan praktik. Sehingga
jangan heran kalau banyak manusia Indonesia
yang hapal isi Pancasila atau ayat-ayat suci, tetapi tidak tahu bagaimana
membuang sampah yang benar, berlaku jujur, beretos kerja tinggi, dan menjalin
hubungan harmonis dengan sesama.
Dalam
hubungan ini maka apa yang disarankan Unesco perlu diperhatikan yaitu bahwa
pendidikan harus mengandung tiga unsur: (a) belajar untuk tahu (learn to
know). (b) belajar untuk berbuat (learn to do). (c). belajar untuk
bersama (learn to live together). Unsur pertama dan kedua lebih terarah
membentuk having, agar sumber daya manusia mempunyai kualitas dalam
pengetahuan dan keterampilan atau skill. Unsur ketiga lebih terarah being
menuju pembentukan karakter bangsa. Kini, unsur itu menjadi amat penting.
Pembangkitan rasa nasionalisme, yang bukan ke arah nasionalisme sempit,
penanaman etika berkehidupan bersama, termasuk berbangsa dan bernegara;
pemahaman hak asasi manusia secara benar, menghargai perbedaan pendapat tidak
memaksakan kehendak, pengembangan sensitivitas sosial dan lingkungan dan
sebagainya merupakan beberapa hal dari unsur pendidikan melalui belajar untuk
hidup bersama. Pendidikan dari unsur ketiga ini sudah semestinya dimulai sejak
Taman Kanak-Kanak hingga perguruan tinggi. Penyesuaian dalam materi dan cara
penyampaiannya tentu saja diperlukan.
Dampak
pendidikan karakter
Apa
dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian
bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan
penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin Character Educator,
yang diterbitkan oleh Character Education Partnership.
Dalam
buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dariUniversity
of Missouri - St Louis, menunjukkan peningkatan motivasi siswa sekolah
dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan
karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan
karakter menunjukkan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat
menghambar keberhasilan akademik
Pendidikan
karakter ada-lah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).
Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak
akan efektif dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan
berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas
emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak
menyongong masa depan karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam
menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara
akademis.
Dalam
buku Emotional Intelligence and School Succes (Joseph Zins, et. al
2001) mengkomplikasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh kecerdasan
emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet
faktor-faktor risiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor risiko
yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada
karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul,
kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi. Hal ini
sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di
masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20
persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ).
Anak-anak
yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesuliran
belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah
ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah dan kalau tidak ditangani akan
terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau
mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang
dihadapi oleh remaja seperti kenalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks
bebas dan sebagainya.
Pendidikan
karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter
adalah di dalam keluarga. Kalau seorang anak mendapat pendidikan karakter yang
baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya. Namun
banyak orangtua yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang
pendidikan karakter. Selain itu Daniel Goleman juga mengatakan bahwa banyak
orangtua yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya entah karena kesibukan
atau karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Namun ini semua dapat
dikoreksi dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah.
Jadi,
pendidikan karakter atau budi pekerti plus adalah suatu yang urgen
untukdilakukan. Kalau kita peduli untuk meningkatkan mutu lulusan SD, SMP dan
SMU, maka tanpa pendidikan karakter adalah usaha yang sia-sia. Mahatma Gandhi
memperingatkan tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu "education
without character" (pendidikan tanpa karakter). Dr. Martin Luther King
juga pernah berkata: "Intelligence plus character... that is the good
od true education" (Kecerdasan plus karakter.... itu adalah tujuan
akhir dari pendidikan sebenarnya). Juga Theodore Roosevelt yang mengatakan: "To
educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to
society". Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan
aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar